Sunday, May 4, 2008

ROBERT GAGNE and The Conditions of Learning

ROBERT GAGNE 1916-2002
"Learning is something that takes place insidea person's head- in the brain"


Robert Gagne lahir tahun 1916 di North Andover, MA. Beliau mendapatkan gelar A.B. pada Yale tahun 1937 dan pada tahun 1940 mendapat gelar Ph.D. dalam Psychology dari Universitas Brown. Mengajar pada Connecticut College for Women dari 1940-49 dan kemudian pada Penn State University dari 1945-1946. Antara 1949-1958, Gagne menjadi direktur “perceptual and motor skills laborartory” dari U.S. Air force. Pada saat itu dia mulai mengembangkan beberapa idenya yaitu teori belajar yang disebut


"The Conditions of Learning".

Pada 25 tahun terakhir beliau adalah professor pada Department of Education Research at Florida State University di Tallahassee.

Gagne melihat proses belajar mengajar dibagi menjadi beberapa komponen penting yaitu :
1. Fase – fase pembelajaran
2. Kategori utama kapabilitas/kemampuan manusia/outcomes
3. Kondisi atau tipe pembelajaran
4. Kejadian-kejadian instruksional

Robert Gagne seorang ahli psikologi pendidikan mengembangkan teori belajar yang mencapai kulminasinya pada “The Condition of Learning”. Banyak gagasan Gagne tentang teori belajar, seperti belajar konsep dan model pemrosesan informasi, pada bukunya “The Condition of Learning” Gagne membahas tentang fase-fase dalam belajar, kapabilitas manusia yang dihasilkan setelah belajar (outcomes), kondisi atau tipe pembelajaran (the eight conditions learning) dan kejadian-kejadian belajar (nine intructional events), serta hubungan kejadian-kejadian tersebut.

A. Fase-fase dalam belajar

Gagne membagi proses belajar berlangsung dalam empat fase utama, yaitu: (1) receiving the stimulus situation (apprehending), (2) stage of acquisition, (3) storage, (4) retrieval.
1. Fase Receiving the stimulus situation (apprehending), merupakan fase seseorang memperhatikan stimulus tertentu kemudian menangkap artinya dan memahami stimulus tersebut untuk kemudian ditafsirkan sendiri dengan berbagai cara. Misalnya “golden eye” bisa ditafsirkan sebagai jembatan di amerika atau sebuah judul film. Stimulus itu dapat spontan diterima atau seorang Guru dapat memberikan stimulus agar siswa memperhatikan apa yang akan diucapkan.
2. Fase Stage of Acquition, pada fase ini seseorang akan dapat memperoleh suatu kesanggupan yang belum diperoleh sebelumnya dengan menghubung-hubungkan informasi yang diterima dengan pengetahuan sebelumnya. Atau boleh dikatakan pada fase ini siswa membentuk asosiasi-asosiasi antara informasi baru dan informasi lama.
3. Fase storage /retensi adalah fase penyimpanan informasi, ada informasi yang disimpan dalam jangka pendek ada yang dalam jangka panjang, melalui pengulangan informasi dalam memori jangka pendek dapat dipindahkan ke memori jangka panjang.
4. Fase Retrieval/Recall, adalah fase mengingat kembali atau memanggil kembali informasi yang ada dalam memori. Kadang-kadang dapat saja informasi itu hilang dalam memori atau kehilangan hubungan dengan memori jangka panjang. Untuk lebih daya ingat maka perlu informasi yang baru dan yang lama disusun secara terorganisasi, diatur dengan baik atas pengelompokan-pengelompokan menjadi katagori, konsep sehingga lebih mudah dipanggil.
Kemudian ada fase-fase lain yang dianggap tidak utama, yaitu (5) fase motivasi sebelum pelajaran dimulai guru memberikan motivasi kepada siswa untuk belajar, (6) fase generalisasi adalah fase transfer informasi, pada situasi-situasi baru, agar lebih meningkatkan daya ingat, siswa dapat diminta mengaplikasikan sesuatu dengan informasi baru tersebut. (7) Fase penampilan adalah fase dimana siswa harus memperlihatkan sesuatu penampilan yang nampak setelah mempelajari sesuatu, seperti mempelajari struktur kalimat dalam bahasa mereka dapat membuat kalimat yang benar, dan (8) fase umpan balik, siswa harus diberikan umpan balik dari apa yang telah ditampilkan (reinforcement).

B. Kategori utama kapabilitas/kemampuan manusia/outcomes

Setelah selesai belajar, penampilan yang dapat diamati sebagai hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan (capabilities). Kemampuan-kemampuan tersebut dibedakan berdasarkan atas kondisi mencapai kemampuan tersebut berbeda-beda. Ada lima kemampuan (kapabilitas) sebagai hasil belajar yang diberikan Gagne yaitu :
1. Verbal Information (informasi verbal), adalah kemampuan siswa untuk memiliki keterampilan mengingat informasi verbal, ini dapat dicontohkan kemampuan siswa mengetahui benda-benda, huruf alphabet dan yang lainnya yang bersifat verbal.
2. Intellectual skills (keterampilan intelektual), merupakan penampilan yang ditunjukkan siswa tentang operasi-operasi intelektual yang dapat dilakukannya. Keterampilan intelektual memungkinkan seseorang berinteraksi dengan lingkungannya melalui pengunaan simbol-simbol atau gagasan-gagasan. Yang membedakan keterampilan intelektual pada bidang tertentu adalah terletak pada tingkat kompleksitasnya.
Untuk memecahkan masalah siswa memerlukan aturan-aturan tingkat tinggi yaitu aturan-aturan yang kompleks yang berisi aturan-aturan dan konsep terdefinisi, untuk memperloleh aturan – aturan ini siswa sudah harus belajar beberapa konsep konkret, dan untuk belajar konsep konkret ini siswa harus menguasai diskriminasi-diskriminasi.


3. Cognitive strategies (strategi kognitif), merupakan sustu macam keterampilan intelektual khusus yang mempunyai kepentingan tertentu bagi belajar dan berpikir. Proses kontrol yang digunakan siswa untuk memilih dan mengubah cara-cara memberikan perhatian, belajar, mengingat dan berpikir. Beberapa strategi kognitif adalah : (1) strategi menghafal, (2) strategi elaborasi, (3) strategi pengaturan, (4) strategi metakognitif, (5) strategi afektif.
4. Attitudes (sikap-sikap) merupakan pembawaan yang dapat dipelajari dan dapat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap benda, kejadian atau mahluk hidup lainnya. Sekelompok sikap yang penting ialah sikap-sikap kita terhadap orang lain. Bagaimana sikap-sikap sosial itu diperoleh setelah mendapat pembelajaran itu yang menjadi hal penting dalam menerapkan metode dan materi pembelajaran.
5. Motor skills (keterampilan motorik) merupakan keterampilan kegiatan fisik dan penggabungan kegiatan motorik dengan intelektual sebagai hasil belajar. Keterampilan motorik bukan hanya mencakup kegiatan fisik saja tapi juga kegiatan motorik dengan intelektual seperti membaca, menulis, dllnya

C. Kondisi atau tipe pembelajaran


1. Signal learning (belajar isyarat)
Belajar isyarat merupakan proses belajar melalui pengalaman-pengalaman menerima suatu isyarat tertentu untuk melakukan tindakan tertentu. Misalnya ada “Aba-aba siap” merupakan isyarat untuk mengambil sikap tertentu, tersenyum merupakan isyarat perasaan senang.
2. Stimulus-response learning (belajar melalui stimulus-respon)
Belajar stimulus-respon (S-R), merupakan belajar atau respon tertentu yang diakibatkan oleh suatu stimulus tertentu. Melalui pengalaman yang berulang-ulang dengan stimulus tertentu sesorang akan memberikan respon yang cepat sebagai akibat stimulus tersebut.
3. Chaining (rantai atau rangkaian)
Chaining atau rangkaian, terbentuk dari hubungan beberapa S-R, oleh sebab yang satu terjadi segera setelah yang satu lagi. Misalnya : Pulang kantor, ganti baju, makan, istirahat.
4. Verbal association (asosiasi verbal)
Mengenal suatu bentuk-bentuk tertentu dan menghubungkan bentuk-bentuk rangkaian verbal tertentu. Misalnya : seseorang mengenal bentuk geometris, bujur sangkar, jajaran genjang, bola dlsbnya. Lalu merangkai itu menajdi suatu pengetahuan geometris, sehingga seseorang dapat mengenal bola yang bulat, kotak yang bujur sangkar.
5. Discrimination learning (belajar diskriminasi)
Belajar diskriminasi adalah dapat membedakan sesuatu dengan sesuatu yang lainnya, dapat membedakan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya walaupun bentuk manusia hampir sama, dapat membedakan merk sepedamotor satu dengan yang lainnya walaupun bentuknya sama. Kemampuan diskriminasi ini tidak terlepas dari jaringan, kadang-kadang jika jaringan yang terlalu besar dapat mengakibatkan interferensi atau tidak mampu membedakan.
6. Concept learning (belajar konsep)
Belajar konsep mungkin karena kesanggupan manusia untuk mengadakan representasi internal tentang dunia sekitarnya dengan menggunakan bahasa. Mungkin juga binatang bisa melakukan tetapi sangat terbatas, manusia dapat melakukan tanpa terbatas berkat bahasa dan kemampuan mengabstraksi. Dengan menguasai konsep ia dapat menggolongkan dunia sekitarnya menurut konsep itu misalnya : warna, bentuk, jumlah dllnya
7. Rule learning (belajar aturan)
Belajar model ini banyak diterapkan di sekolah, banyak aturan yang perlu diketahui oleh setiap orang yang telah mengenyam pendidikan. Misalnya : angin berembus dari tekanan tinggi ke tekanan rendah, 1 + 1 = 2 dan lainnya. Suatu aturan dapat diberikan contoh-contoh yang konkrit.
8. Problem solving. (memecahkan masalah)
Memecahkan masalah merupakan suatu pekerjaan yang biasa yang dilakukan manusia. Setiap hari dia melakukan problem solving bayak sekali. Untuk memecahkan masalah dia harus memiliki aturan-aturan atau pengetahuan dan pengalaman, melalui pengetahuan aturan-aturan inilah dia dapat melakukan keputusan untuk memecahkan suatu persoalan. Seseorang harus memiliki konsep-konsep, aturan-aturan dan memiliki “sets” untuk memecahkannya dan suatu strategi untuk memberikan arah kepada pemikirannya agar ia produktif.


D. Kejadian-kejadian instruksional

Apakah yang terjadi dalam mengajar? Mengajar dapat kita pandang sebagai usaha mengontrol kondisi ekstern. Kondisi ekstern merupakan satu bagian dari proses belajar, namun termasuk tugas guru yang utama dalam mengajar.
Mengajar terdiri dari sejumlah kejadian-kejadian tertentu yang menurut Gagne terkenal dengan “Nine instructional events” yang dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Gain attention (memelihara perhatian)
Dengan stimulus ekster kita berusaha membangkitkan perhatian dan motivasi siswa untuk belajar.
2. Inform learners of objectives (penjelasan tujuan pembelajaran)
Menjelaskan kepada murid tujuan dan hasil apa yang diharapkan setelah belajar. Ini dilakukan dengan komunikasi verbal.
3. Stimulate recall of prior learning
(merangsang murid)
Merangsang murid untuk mengingat kembali konsep, aturan dan keterampilan yang merupakan prasyarat agar memahami pelajaran yang akan diberikan.
4. Present the content (menyajikan stimuli)
Menyajikan stimuli yang berkenaan dengan bahan pelajaran sehingga murid menjadi lebih siap menerima pelajaran.
5. Provide "learning guidance" (memberikan bimbingan)
Memberikan bimbingan kepada murid dalam proses belajar
6. Elicit performance /practice (pemantapan apa yang dipelajari)
Memantapkan apa yang dipelajari dengan memberikan latihan-latihan untuk menerapkan apa yang telah dipelajari itu.
7. Provide feedback (memberikan feedback)
Memberikan feedback atau balikan dengan memberitahukan kepada murid apakah hasil belajarnya benar atau tidak.
8. Assess performance (menilai hasil belajar)
Menilai hasil-belajar dengan memberikan kesempatan kepada murid untuk mengetahui apakah ia telah benar menguasai bahan pelajaran itu dengan memberikan beberapa soal.
9. Enhance retention and transfer to the job (mengusahakan transfer)
Mengusahakan transfer dengan memberikan contoh-contoh tambahan untuk menggeneralisasi apa yang telah dipelajari itu sehingga ia dapat menggunakannya dalam situasi-situasi lain
Dalam mengajar hal di atas dapat terjadi sebagian atau semuanya, Proses belajar sendiri terjadi antara peristiwa nomor 5 dan 6. Peristiwa-peristiwa itu digerakkan dan diatur dengan perantaraan komunikasi verbal yakni guru mengatakan kepada murid apa yang harus dilakukannya


DAFTAR PUSTAKA

Nasution, S., Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, Bumi Aksara, Jakarta, 2003.
Dahar, Ratna Wilis, Teori – Teori Belajar, Erlangga, Jakarta, 1989.
Maschke Kathy L., Gagne : The Condition of Learning, www.nc.gsu/~mstswh/course/it7000/papers/robert.htm.
……..,www.sru.edu/depts./education/psycholo/panaud/gagne.htm
……..,www.nova.edu/~cozart/learningtheories.htm

Read More (Lihat lebih Detail)......

PROBLEM SOSIAL DAN TRI PUSAT PENDIDIKAN

PENYELESAIAN PROBLEM SOSIAL
MELALUI OPTIMALISASI FUNGSI TRI PUSAT PENDIDIKAN

(sebuah paper yang idenya tercetus ketika banyak melihat problem sosial di kampung-kampung miskin di perkotaan)

Oleh :
Made Wiryana

I. PENDAHULUAN
Problem sosial seperi premanisme, pejudian dan minuman keras akhir-akhir ini semakin menampakkan kecenderungan meningkat. Tidak perlu beranjak jauh untuk melihat hal itu, disetiap ujung jalan, kampung dan kelurahan pemandangan menyesakkan seperti itu terlampau sering dijumpai. Siapakah yang harus memperbaiki hal seperti ini, apakah akan dibiarkan selamanya seperti itu? Sudah adakah usaha pemerintah atau masyarakat untuk menyelesaikan problem sosial tersebut? Sangat sedikit sensitifitas sosial yang muncul untuk menperhatikan premanisme, perjudian dan minuman keras, yang terjadi adalah membiarkan hal seperti itu terjadi. Masyarakat seakan mensyahkan hal tersebut, tidak ambil perduli bahkan jarang terlihat orang tua menasehati anaknya yang terjerumus dalam problem tersebut bahkan mungkin orang tua pun ikut-ikutan terjerumus.
Jika kita berjalan-jalan ke beberapa kampung di dalam kota, kita merasakan realitas yang terjadi di masyarakat bawah. Banyak sekali dapat dilihat kejadian yang menunjukkan masyarakat kita sedang sakit dan menghadapi problem sosial. Minuman keras dan perjudian sudah hampir setiap hari mereka nikmati, premanisme muncul di sudut-sudut pasar bahkan sering terlihat langsung tanpa sembunyi-sembunyi, tak ada usaha apapun untuk menghentikannya dan masyarakat semakin tidak peduli.
Premanisme, perjudian dan minuman keras adalah problem sosial yang akan menjadikan anak-anak bangsa kita mengalami kesuraman, hal inilah mendasari mengapa problem tersebut harus segera dicarikan penyelesaiannya. Problem sosial ini sangat rentan sekali menimbulkan tindak kriminalitas yang mengancam keselamatan pihak lain, begitu juga dari segi kesehatan dan masa depan anak-anak, sulit membiarkan ini terjadi.
Adanya premanisme, perjudian dan minuman keras yang menggejala di kalangan masyarakat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : (1) tingkat pendidikan masyarakat yang kurang, (2) faktor ekonomi yang mengakibatkan kemiskinan dan (3) permasalahan penegakan hukum oleh aparat. Berdasarkan hal tersebut, dalam konteks ini akan dicoba dipaparkan penyelesaian problem sosial tersebut dari sudut pandang pendidikan.

Problem Sosial pada beberapa daerah
Premanisme, perjudian dan minuman keras yang muncul karena rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, kemiskinan dan kurangnya penegakan hukum.. Dari pengamatan penulis rendahnya tingkat pendidikan ini dimulai dari tingkat pendidikan orang tua sehingga menyebabkan :
1. Kesadaran akan pendidikan anak kurang
2. Tidak berfungsinya pendidikan keluarga
Faktor ekonomi (kemiskinan) karena kesulitan pekerjaan atau penghasilan rendah yang dialami masyarakat tertentu akan menyebabkan :
1. Kemampuan menyekolahkan anak berkurang
2. Pencarian jalan pintas untuk mencapai kesejahteraan memunculkan premanisme dan perjudian.
3. Pengangguran mendekatkan mereka pada minuman keras.
Problem di atas bertambah luas dan rumit juga diakibatkan penegakan hukum yang sangat lemah oleh aparat keamanan.

II. OPTIMALISASI FUNGSI TRI PUSAT PENDIDIKAN

Penyelenggaraan pendidikan adalah menjadi tanggungjawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah, karena itu pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat (Guruvalah 2003 :1). Pendidikan kita terdiri atas tiga bagian. Pertama, pendidikan informal (keluarga), formal (sekolah) dan nonformal (masyarakat). Sasaran yang ingin dicapai dari pendidikan kita adalah pembentukan aspek kognitif (intelektual), afektif (sikap mental atau moral) dan psikomotorik (skill/keterampilan). Idealnya, pembentukan aspek kognitif menjadi tugas dan tanggung jawab para pendidik (guru) di sekolah, pembentukan aspek efektif menjadi tugas dan tanggung jawab orangtua dan pembentukan aspek psikomotorik menjadi tugas dan tanggung jawab masyarakat (lembaga-lembaga kursus, dan sejenisnya).
Dengan adanya pembagian tugas seperti ini, masalah pendidikan sebenarnya menjadi tanggung jawab semua pihak: orangtua, pendidik (guru) dan masyarakat. Pendidikan moral seperti agama, budi pekerti, etika, dan sejenisnya, menjadi tugas dan tanggung jawab orangtua. Pendidikan keterampilan seperti kursus komputer, bahasa asing, menjahit, dan sebagainya, menjadi tugas dan tanggung jawab masyarakat (lembaga-lembaga kursus). Sedangkan pendidikan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) menjadi tugas dan tanggung jawab para pendidik (guru) di sekolah.
Tapi karena tidak setiap keluarga mampu memberikan pendidikan yang dimaksud dalam keluarga, maka sekolah sering merasa perlu untuk memberikan tanggungjawabnya untuk mengembangkan seluruh kemampuan siswa, sehingga sekolah sering memberikan muatan-muatan yang dapat bermanfaat bagi siswa (bukan kognitif saja).
Pada umumnya sekolah sebagai lembaga pendidikan dan merupakan pusat kegiatan belajar mengajar dijadikan tumpuan dan harapan orang tua, keluarga, masyarakat, bahkan pemerintah. Karena itu, sekolah senantiasa memberikan pelayanan pendidikan, pengajaran, dan pelatihan yang bersifat ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), keterampilan, dan pembentukan sikap mental yang baik bagi peserta didiknya (IMTAQ).
Karena sekolah diberi tumpuan sedemikian besar, maka berimplikasi juga pada kemampuan masyarakat untuk dapat melanjutkan sekolah, akhirnya banyak masyarakat tidak mendapatkan pendidikan yang layak.
Di lain pihak usaha Pemerintah untuk mengembangkan pendidikan luar sekolah terlihat setengah hati, ini terlihat dari kecilnya proporsi biaya dan kegiatan untuk pendidikan luar sekolah dibandingkan pendidikan formal. Sehingga tidak heran bila kita melihat pengangguran dan problem sosial semakin banyak terjadi di negara kita padahal kalau kita lihat, jumlah sekolah saat ini lebih banyak dibandingkan pada masa-masa yang lampau.
Melihat keadaan seperti itu selain disebabkan oleh faktor ekonomi dan penegakan hukum, problem sosial yang terjadi di beberapa daerah, desa atau kampung disebabkan oleh faktor pendidikan. Jika ditengok ke belakang bahwa pendidikan kita mempunyai pilar yang disebut tri pusat pendidikan, maka terlihat tiga pilar pendidikan kita berjalan tidak optimal. Ketidakoptimalan ini terjadi karena pendidikan formal, pendidikan keluarga dan pendidikan masyarakat berjalan tidak terpadu, bahkan terjadi dikotomi, kadang terjadi saling menyalahkan antara keluarga dan sekolah atau masyarakat tentang penyebab suatu permasalahan yang diakibatkan oleh pendidikan, seperti tanggungjawab pendidikan moral atau agama. Untuk menyelesaikan problem sosial di beberapa daerah, perlu mengoptimalkan tri pusat pendidikan tersebut dengan langkah-langkah sebagai berikut.
1. Pemerataan Pendidikan formal
2. Muatan nilai pada pendidikan formal
3. Memperbanyak peran pendidikan luar sekolah.

2.1 Pemerataan Pendidikan Formal
Walaupun pendidikan formal untuk masyarakat kita dapat dikatakan merata, tapi perlu ditinjau kembali sejauh mana bisa memberikan kontribusi untuk menyelesaikan problem sosial di atas. Khusus untuk desa atau kampung yang mempunyai problem sosial yang tinggi, perlu dilakukan terobosan oleh pemerintah dengan membebaskan pembayaran BP3 pada siswa-siswa yang berasal dari tempat tersebut. Walaupun harus diakui BP3 memberikan kontribusi yang besar pada pelaksanaan pendidikan di sekolah dan peningkatan pendidikan, tetapi pada akhir-akhir ini banyak terjadi ketidakadilan dalam kontribusi BP3 ini, karena terjadi kesewenang-wenangan dalam hal jumlah iuran BP3. Hal ini terlihat banyak sekolah negeri iuaran BP3nya lebih besar dibandingkan bebeberapa sekolah swasta, padahal sekolah negeri sudah menerima subsidi dari pemerintah.
Pemerintah perlu memberi subsidi yang nyata pada daerah-daerah yang banyak mengalami problem sosial, sehingga peningkatan pendidikan pada anak-anak akan merubah sikap mental mereka di kemudian hari. Dalam konteks otonomi daerah, Pemerintah Daerah dapat menggunakan kebijakan daerah untuk memperhatikan daerahnya dan memberikan subsidi yang nyata bagi daerah atau desa/kampung yang mengalami masalah sosial. Pemerintah Daerah Jemberana misalnya, mengambil langkah yang spektakuler dengan membebaskan siswa di kabupaten tersebut dari pembayaran SPP/BP3.

2.2 Muatan Nilai pada Pendidikan Formal
Muatan nilai pada pendidikan formal sudah sangat sering didengar, bahkan sering menjadi polemik apakah menjadi mata pelajatran tersendiri atau diintegrasikan pada mata pelajaran yang lainnya. Dengan konsep Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sebenarnya sangat memungkinkan memasukkan muatan nilai pada mata pelajaran yang sudah ada.
Pada dasarnya pendidikan bertugas mempersiapkan anak untuk menghadapi hari esok. Dengan demikian pendidikan seyogyanya sesuai dengan kebutuhan anak kelak manakala mereka terjun ke masyarakat. Pendidikan berkewajiban menanamkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dibutuhkan individu dalam mengarungi kehidupannya di masyarakat. Sehingga pendidikan bidang-bidang studi turut pula bertanggung jawab dalam mengembangkan kemampuan itu, (Harry Firman, 2004:3)
Sering terjadi dikotomi atau saling menyalahkan tentang pendidikan nilai, apakah diberikan di sekolah atau di keluarga/masyarakat. Pihak sekolah menganggap pendidikan nilai ada di keluarga, karena sebagian besar waktu anak didik berada di rumah (bukan di sekolah), sedangkan pihak orang tua atau masyarakat memandang karena tugas sekolah juga mendidik aspek afektif dan psikomotorik ada pelajaran moral dan agama, maka kesalahan sering dilimpahkan ke sekolah. Sebenarya pendidikan nilai adalah tanggungjawab dari semuanya sebagai fungsi tri pusat pendidikan, sehingga tidak perlu terjadi dikotomi, semua pihak harus bersatu padu untuk memberikan pendidikan nilai pada anak atau siswa.
Pendidikan agama menjadi tumpuan yang terbesar untuk membentuk watak siswa sehingga memiliki kompetensi moral yang cukup untuk membentuk kepribadian yang baik, dengan demikian kegagalan dalam pendidikan keluarga (jika terjadi) dapat dikompensasi dengan pemberian muatan nilai pada pendidikan formal.

2.3. Memperbanyak peran pendidikan luar sekolah.
Pendidikan Luar Sekolah (PLS) sebenarnya pendidikan yang strategis untuk menyelesaikan problem sosial, tetapi Pemerintah justru tidak memberikan porsi yang cukup untuk berperan pada akhir-akhir ini.
Di era otonomi daerah, Pemerintah perlu lebih menggerakkan pendidikan non formal tersebut untuk dapat membantu menyelesaikan problem sosial tersebut. Pemda sebenarnya lebih mengetahui kondisi daerahnya dibanding pemerintah pusat sehingga memiliki kebijakan yang lebih tepat bagaimana menyelesaikan problem sosial yang dialami beberapa daerah.
Pendidikan non formal yang hanya bertumpu pada isu-isu yang sudah usang seperti kejar paket A, B atau penuntasan buta aksara perlu dikurangi tetapi perlu menambah atau meningkatkan kegiatan pada isu ; (1) peningkatan kualitas program pendidikan perempuan dan pendidikan orang tua, (2) perluasan pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan berkelanjutan melalui program pembinaan kursus, kelompok belajar usaha, magang, dan beasiswa pelatihan.
Program Pendidikan Perempuan, yakni program untuk memberikan serta meningkatkan pengetahuan, keterampilan serta sikap mental perempuan, sehingga mereka mampu melaksanakan fungsi keluarga dalam rangka terciptanya keluarga yang sehat dan sejahtera. Kegiatan-kegiatan dalam program pendidikan perempuan adalah: 1) Pendidikan Keterampilan Usaha Perempuan (PKUP), guna memberikan bekal kemampuan berusaha sehingga mereka memiliki sumber penghasilan yang tetap, 2) Pendidikan Orangtua, guna memberikan bekal kemampuan dalam melaksanakan fungsi keluarga; serta 3) Pemberdayaan Perempuan, guna memberdayakan perempuan sebagai mitra sejajar pria (gender).
Kualitas pendidikan perempuan dan orang tua pada daerah-daerah dengan problem sosial tinggi, akan memberikan dampak yang positif terhadap pendidikan keluarga. Kita mengetahui perempuan dapat menopang ekonomi keluarga, dan lebih banyak bertemu anggota keluarga dalam konteks pendidikan keluarga sehingga ini dapat membawa iklim positif bagi penyelesaian problem sosial
Program Pendidikan Berkelanjutan, terdiri dari: 1) program yang berorientasi pada pemberian bekal pengembangan diri dan profesionalisme melalui kursus yang sesuai dengan kebutuhan warga, seperti: jasa, bahasa, pertanian, kerumahtanggaan, kesehatan, teknik dan perambahan, olahraga kesenian, kerajinan dan industri, serta keterampilan khusus; 2) program yang berorientasi pada pemberian bekal untuk bekerja mencari nafkah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup melalui program Kejar Usaha, Magang, Beasiswa/Kursus; 3) program yang berorientasi pada bekal untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, yang dilaksanakan melalui program Paket C Setara SMU yang diintegrasikan dengan pendidikan keterampilan sehingga adanya peningkatan pengetahuan disertai dengan peningkatan kemampuan bermatapencaharian.
Peningkatan kualitas pendidikan berkelanjutan pada daerah-daerah bermasalah.akan memberikan dampak ekonomi yang bagus, sehingga lambat laun kemiskinan pada daerah bermasalah dapat dikurangi. Pemberian keterampilan akan memberikan ruang yang kondusif bagi penambahan penghasilan keluarga dan dengan adanya kegiatan usaha maka prilaku-prilaku buruk seperti perjudian, minuman keras dapat dikurangi.

IV. PENUTUP
Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa problem sosial seperti premanisme, perjudian dan minuman keras mengalami peningkatan di beberapa kampung, desa atau daerah, yang perlu dicarikan jalan untuk dapat diselesaikan oleh segenap komponen masyarakat.
Dengan semangat otonomi daerah, Pemerintah Daerah dapat lebih terbuka mengetahui permasalahan-permasalahan tersebut dan memberikan kebijakan-kebijakan yang mengarah bagi penyelesaian problem sosial melalui optimalisasi fungsi tri pusat pendidikan. Optimalisasikan fungsi tri pusat pendidikan melalui :
1. Pemerataan pendidikan formal melalui pemberian subsidi langsung kepada siswa dari daerah-daerah yang mengalami problem sosial
2. Muatan nilai pada pendidikan formal melalui pengitregasian muatan nilai ke mata pelajaran pokok
3. Memperbanyak peran pendidikan luar sekolah/nonformal pada daerah-daerah yang mengalami problem sosial dengan :
- peningkatan kualitas program pendidikan perempuan dan pendidikan orang tua,
- perluasan pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan berkelanjutan melalui program pembinaan kursus, kelompok belajar usaha, magang, dan beasiswa pelatihan.
Pemerintah Daerah selayaknya lebih memperhatikan problem sosial yang terjadi di beberapa daerah, desa, kampung dengan memberikan peningkatan kualitas pendidikan baik pendidikan formal maupun nonformal.
REFERENSI

Djumransjah, H.M.(2004). Pengantar Filsafat Pendidikan, Malang:Bayumedia
http://www.ristek.go.id/referensi/hukum/prop_bab5.htm, Membangun Kesejahteraan Rakyat dan Ketahanan Budaya
Westa Wayan K.S. Dilema Bali Disilang Dua Dunia, www.balipost.co.id
http://www.geocities.com/martapura2000/pls.htm. Rencana Trategis Tahun Pembangunan Bidang Pendidikan Luar Sekolah

Read More (Lihat lebih Detail)......

Meningkatkan Mutu Pendidikan


MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN DI INDONESIA
( Sebuah rangkuman dua tulisan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan)
Estu Retnaningtyas dalam tulisannya berjudul “Standarisasi Mutu Pendidikan” dan I Nengah Suparta yang berjudul “Orientasikan Proses Pendidikan pada Seleksi”, mengambil latar belakang yang sama yaitu sistem pelulusan siswa masih meninggalkan kerikil yang mengganjal insan pendidikan di Indonesia. Kedua penulis melihat standarisasi mutu lulusan masih dilaksanakan tidak konsisten oleh Pemerintah yang ditandai dengan adanya konversi nilai yang tidak adil dan pembobotan pada tiap daerah yang berbeda pada proses pelulusan siswa, sehingga menimbulkan ketidakadilan dan diskriminasi. Adanya inkonsistensi standar ini malah mengaburkan tujuan awal dari peningkatan mutu pendidikan.

Baik Estu dan Suparta memandang mutu pendidikan masih dilihat hanya dari persentase kelulusan saja, yang berarti masih dalam domain kognitif, padahal penilaian dengan melihat persentase kelulusan saja baru merupakan penilaian formalitas dan bukan pada realitas. Hal ini menyebabkan standar mutu pendidikan di Indonesia menjadi semacam kamuflase saja.
Estu dan Suparta pada bagian lain dari tulisannya berpandangan berlainan tentang peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Estu berpendapat, peningkatan kualitas output pendidikan nasional melalui penerapan standar mutu tidak dapat ditunda lagi karena ini akan memberikan rasa keadilan, tetapi sebelumnya harus didahului oleh upaya-upaya peningkatan kualitas manajemen, Guru dan infrastruktur pendidikan secara signifikan.
Masih menurut Estu penilaian kualitas pendidikan selain dikembalikan kepada Masyarakat, juga harus diberikan kepada Depdiknas dan Institusi Independen lainnya dan Guru sebagai insan pendidik harus diberikan otonomi untuk memberi nilai yang meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik secara kontinyu dan berkesinambungan.
Sedangkan I Nengah Suparta melihat mutu pendidikan dapat dipandang lebih representatif jika diorientasikan pada kebutuhan seleksi, sehingga menggiring insan pendidik mengarahkan sistem pada kemampuan yang real. Kemajuan sistem pendidikan dapat diharapkan jika proses seleksi dilaksanakan pada kemampuan nyata pemegang ijazah bukan pada penampilan ijazahnya.
Estu dan Suparta berpendapat yang sama tentang perlunya sistem penilaian bukan pada domain kognitifnya saja tetapi juga pada aspek afektif dan psikomotorik serta kemampuan adaptasi terhadap lingkungan. Dalam melaksanakan standarisasi lulusan yang “achievable” (dapat dijalankan) pelaksanaannya harus jujur, transparan dan komprehensif. Kedua penulis juga berpendapat bahwa standarisasi mutu pendidikan akan lebih baik dikorelasikan dengan seleksi penerimaan siswa pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, malah Suparta menambahkan kemampuan akademik siswa yang baik dapat diarahkan ke SMA dan yang kurang ke SMK Kejuruan.
Dari kedua tulisan dapat disimpulkan bahwa latar belakang penulisan berada dalam isu yang sama, penilaian kelulusan mestinya dapat menjangkau ranah kognitif, afektif dan psikomotorik secara kontinyu dan berkelanjutan, penilaian kelulusan diharapkan berorientasi pada seleksi dan lulusan diarahkan pada kemampuan yang real bukan semata pada penampilan ijazahnya. Kedua tulisan memiliki kesamaan pandangan untuk meningkatkan mutu pendidikan.


RANGKUMAN DARI TULISAN
1. Estu Retnaningtyas Nugraheni
Judul : Standarisasi Mutu Pendidikan
2. I Nengah Suparta
Judul : Orientasikan Proses Pendidikan pada Seleksi

PERANGKUM :
Made Wiryana

Read More (Lihat lebih Detail)......

Saturday, May 3, 2008

Salonding Riwayatmu Kini


SALONDING menanti generasi muda.

Salonding merupakan gamelan Bali yang usianya lebih tua dari gamelan-gamelan yang kini populer dipakai dalam kesenian maupun dalam upacara adat dan agama. Tidak semua desa di Bali memiliki budaya yang dekat dengan jenis gamelan ini, kecuali beberapa desa tua di belahan selatan dan timur pulau Bali.

Tidak seperti gamelan lainnya yang bilah-bilah perunggu digantung dengan tali sapi pada badan gamelan, pada salonding bilah-bilah perunggu bahkan yang lebih tua bilah bilah besi diletakkan dengan pengunci secukupnya di atas badan gamelan tanpa bilah resonan(bambu resonan) seperti jenis gamelan saat ini.
Dengan suara yang khas, salonding dengan nada klasiknya mengiringi penari rejang dalam "mesolah" persembahan tari dalam upacara yadnya di desa desa tua seperti Tenganan, Bugbug, Asak dan beberapa desa di belahan timur pulau Bali.


Tapi saat ini, gamelan salonding seakan yang dengan tabah mengiringi yadnya sejak ratusan tahun lampau, tidak pernah dilirik sedikitpun oleh generasi muda untuk memukul bilah-bilahnya. Pemukul salonding yang sudah berusia lanjut seakan tak berdaya untuk menarik para pemudanya untuk menggantikan dirinya, karena generasi penerus lebih senang hidup mengikuti gaya hidup modern atau yang tertarik lebih senang memukul bilah-bilah gamelan gong kebyar yang lagi populer.

Siapakah yang akan melanjutkan memukul bilah-bilah salonding jika keadaan tetap seperti ini?

Gemerlap pesta kesenian Bali dengan lomba gong kebyarnya seakan sedetikpun tak menoleh pada salonding. Ataukah salonding ingin dibiarkan menghilang karena peralatan tua harus segera diganti dengan yang baru seperti mengganti sepeda motor Sundap dengan Honda Vario?

Bagaimana dengan yadnya yang diiringi oleh salonding harus diganti dengan kebyar, lenggak lenggok penari rejang klasik diganti dengan rejang dewa atau kontemporer?



Salonding menunggu generasi muda, siapa?

Read More (Lihat lebih Detail)......