Tuesday, April 15, 2008

MISTIK dan FISIKA BARU


MISTIK dan FISIKA BARU


Resensi buku Michael Talbob
Oleh Made Wiryana


Ketika kita dihadapkan pada kejadian-kejadian yang tidak masuk akal, sejuta pertanyaan muncul dalam benak setiap orang. Bagaimana mungkin, seseorang tidak terluka sedikitpun ketika dihujani benda atau senjata tajam, ketika menginjak paku atau pecahan beling dan yang mengejutkan ketika berjalan di bara api yang panas dengan kaki telanjang.
Para ilmuwan mencoba menganalisis gejala-gejala ganjil tersebut tetapi berakhir pada pendapat bahwa itu di luar nalar dan hanya dapat dijelaskan melalui langkah-langkah mistis. Apakah ada penjelasan yang masuk akal terhadap kejadian-kejadian tersebut?

Perdebatan antar ilmuwan terus terjadi antara ilmuwan penganut konsep fisika klasik yang menganggap seluruh kejadian alam ada penyebabnya (hukum kausalitas) dengan ilmuwan penganut konsep fisika kwantum yang tidak terjebak pada pemikiran kausalitas. Akhirnya munculah konsep fisika baru yang menjelaskan kesadaran (pikiran) manusia dapat mempengaruhi realitas (kenyataan).
Michel Talbot (penulis buku ini) seorang fisikawan yang banyak meneliti dan mempelajari fisika serta lama terlibat dengan seorang paranormal, mencoba mencari hubungan kejadian-kejadian ganjil tersebut dengan konsep fisika modern. Talbot berusaha membeberkan sesuatu yang berbau mistis dapat dijelaskan secara rasional dan dia memberikannya istilah “fisika baru”.
Fisikawan klasik menganggap pada setiap percobaan fisika yang mempengaruhi hasil percobaan bukanlah pengamat tetapi materi dan peralatan laboratorium, dari penemuan gejala mekanika kuantum justru kesadaran pengamat mempengaruhi proses percobaan sehingga dalam fisika baru pengamat dipandang sebagai partisipan (yang terlibat) dalam percobaan, dimana kesadaran mempengaruhi realitas atau pikiran manusia dapat mempengaruhi materi (hal.: 27,28). Penulis mengambil contoh, seorang pendeta tua dari suku Tamil di India beserta beberapa anggota sukunya berjalan di atas batu bara yang menyala, mereka tidak merasakan panas pada kakinya tetapi merasa berjalan di atas batu biasa. Kejadian di atas tidak dapat dijelaskan dengan fisika klasik, tapi menurut teori fisika modern (dasar fisika baru) kejadian itu dapat dilakukan oleh siapapun, panas api menjadi tidak terasa karena dihalau oleh kemampuan “kesadaran manusia mempengaruhi realitas”, kesadaran dapat membentuk medan “biogravitasi” yang dapat berinteraksi dan mengubah medan gravitasi yang mengendalikan materi (hal. 89). Pada kasus di atas kemampuan pikiran pendeta Tamil mempengaruhi reaksi subatomic (komponen dalam atom) panas api dan kaki sehingga panas api dapat dihalau.
Melihat kejadian-kejadian aneh seperti : mahluk bertubuh raksasa, hewan menakutkan berkeliaran pada malam hari, api yang muncul dan lenyap seketika atau benda yang berubah wujud, semuanya dapat dijelaskan dengan super-hologram (hologram luar biasa) realitas dalam konsep fisika baru, dimana kesadaran menghasilkan suatu kekuatan atau medan yang mempengaruhi kode “ruang-waktu”. Jika sebuah radiasi elektromagnetik dapat mempengaruhi gambar pada televisi, maka kesadaran dapat pula mempengaruhi kode “ruang-waktu” yang mirip “kromosom” yang kita pahami sebagai benda-benda di atas dan mempengaruhi super hologram realitas (hal. 113).
Dalam buku ini, Michel Talbot memberikan penjelasan bahwa filsafat-filsafat tua seperti : filsafat Tantra, Zen, Taoisme ternyata memiliki persamaan dengan konsep yang dipaparkan fisika baru. Inilah yang mengejutkan, konsep fisika baru yang mungkin tampak aneh dalam pikiran kita justru telah diulas dalam filsafat Tantra, dimana alam semesta bisa dianggap sebagai sebuah emanasi pikiran (hal. 202).
Pada bagian terakhir buku ini menjelaskan tentang suatu “kosmologi baru” atau alam yang baru dimana fisika baru menawarkan seatu landasan ilmiah bagi agama, ini merupakan hal yang baru dalam peradaban barat, dan dampaknya pasti akan dirasakan dalam setiap aspek kehidupan kita (hal. 220). Fisika baru bukanlah suatu agama tapi konsep yang didasarkan pada psikologi kesadaran manusia.
Dengan membaca buku ini kita dapat menyelami bagaimana suatu kejadian ganjil dijelaskan dengan penjelasan fisika modern, suatu yang dianggap “irasional” dijelaskan secara “rasional”. Walaupun Talbot berusaha menggali konsep fisikawan dari era Newton sampai era Einstein, akan sangat lengkap jika mengambil ointisari pemikiran Danah Zohar dalam bukunya berjudul : SQ, Spritual Intelligence, the Ultimate Intellengence (Bloomsbury, London, 2000) yang membahas “Holisme Kuantum” yang bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari.
Buku ini mengandung materi yang sangat sulit dipahami bagi orang yang tidak mengenal istilah-istilah fisika, akan menjadi materi yang sangat bagus dan bermanfaat bagi orang yang tertarik mendapat jawaban ilmiah dari suatu yang dianggap tidak ilmiah,. Proses penerjemahan yang kurang teliti dan terkesan pas-pasan membuat pembaca harus menyediakan “perhatian yang lebih” dalam membaca buku ini.

Read More (Lihat lebih Detail)......

Perdebatan Metodologi dalam ilmu sosial


Pokok – pokok Argumentasi
Perdebatan Metodologi
dalam Ilmu – ilmu Sosial



Disarikan dari berbagai sumber oleh Made Wiryana



Dalam tulisan ini akan diungkapkan pokok-pokok argumentasi yang dikemukakan oleh beberapa ahli filsafat ilmu, dalam perdebatan metodologi ilmu – ilmu sosial, terutama berkaitan dengan metodologi penelitian ilmu – ilmu sosial. Perdebatan ini dimulai pada dari abad ke – 18 dan sampai sekarangpun masih berlangsung. Perdebatan itu pada hakekatnya adalah pertentangan tentang pembagian kerja ilmu pengetahuan alam (Naturwissenschaften) dan humaniora (Geisteswissenchaften).



UNIFIKASI SCIENCE DAN HUMANIORA : SEBUAH CITA-CITA.
Unifikasi ini dipelopori oleh Max Weber dan kemudian disempurnakan oleh Juergen Habermas sebagai filosuf generasi berikutnya. Beberapa argumentasi atau pemikiran Habermas dapat dinyatakan sebagai berikut.
Juergen Habermas :
· Menentang keberadaan pembagian kerja antara ilmu pengetahuan alam dengan humaniora, dan mencoba melakukan rekontruksi metodologis dengan cara to go beyond Neo-Kantian epistemology. Suatu paham yang dipelopori Rickert dan Windelband.
· Menegaskan ketika ilmu alam dan humaniora mampu hidup berdampingan, baik dalam kondisi saling mengabaikan ataupun kalau tidak dalam situasi saling menunjukkan kehebatannya, tugas ilmu-ilmu sosial harus memecahkan pembagian kerja tersebut menjadi satu atap. Tidak perlu ada lagi pemisahan secara tegas antara apa yang dimaksud dengan logika ilmu (science) dan apa yang dimaksud dengan logika humaniora, kedua logika itu dapat dimanfaatkan dan saling memberikan keuntungan kalau diterapkan dalam memahami realitas sosial.
· Berupaya menentang hegemoni positivisme yang menjelma dalam berbagai dominasi konsep-konsep empiris-analitis dalam ilmu-ilmu sosial dengan cara menunjukkan perlunya mengembangkan text interpreting humanities dalam studi sosial dan kemanusiaan.
· Mampu mengkritik dan merekontruksi pendekatan fenomenologi (Schuetz), etnometodologi (Garfinkel dan Cicourel), permainan linguistik (Wittgenstein dan Winch) dan tradisi hermeneutik (Gadamer). Dengan memahami, membela sekaligus memberi kritik merupakan metode refleksi-diri yang menjadi tulang punggung perkembangan teori kritis Habermas.
· Dengan basis teori kritis, Habermas mampu meningkatkan peran metode interpretif (Verstehen) dan sekaligus mengurangi hegemoni positivisme dalam hal metode empiris-analitis hingga sampai batas yang proporsional.
· Habermas tidak hanya membawa metode ilmu alam (empiris-analitis) dan humaniora (historis-hermeneutik) di bawah satu atap, tetapi juga mengetahui manfaat sekaligus menerima kelemahan keduanya dalam rangka sebagai alat untuk memahami gejala sosial.
· Disamping ada dua metode yaitu metode ilmu alam dan humaniora, Habermas mengembangkan satu lagi metode yang merupakan derivasi dari pendekatan psiko-analisis yaitu metode refleksi-diri yang kemudian melahirkan ilmu-ilmu kritis.

Cita – cita Juergen Habermas menyatukan ilmu pengetahuan alam dengan humaniora menjadi satu atap, sebenarnya sudah dirintis oleh filosuf pendahulunya yaitu Max Weber, seorang pembaharu dari mazab Frankfurt. Beberapa pemikiran Max Weber dijelaskan dalam sub bab berikutnya. Dimana perdebatan metode terjadi sejak abad ke-18 dan awal abad ke-19, dan perselisihan positivisme pada abad ke-20.



PERSELISIHAN METODE DALAM ILMU-ILMU SOSIAL DI JERMAN.
Untuk dapat menyimak dengan baik pemikiran-pemikiran Juergen Habermas, akan lebih baik bila mengetahui sejarah perdebatan metode ini, yang sampai sekarangpun masih berlangsung.
Perdebatan dimulai ketika para filosof menentukan status keilmuan dan metodologi dari disiplin ilmu ekonomi. Perdebatan antara Gustav Schmoller dan Carl Menger. (1870-an dan 1880-an) apakah ilmu ekonomi harus bekerja menurut metode eksakta atau historis, deduktif atau induktif dan abstrak atau empiris. Dengan kata lain ilmu ekonomi merupakan kategori pengetahuan nomotetik atau ideografik.
· Rickert dan Windelband membedakan antara ilmu-ilmu nomotetik yang berdasarkan pada metoda ilmu alam, dan ideografik yang berdasarkan pada humaniora. Nomotetis merupakan pengetahuan yang mencari keteraturan, sedangkan ideografik mencari spesifikasi suatu gejala. Kedua metode ini tidak dapat saling direduksi
· Wilhem Dilthey membedakan Geisteswissenschaften atau ilmu-ilmu sosial budaya dan Naturwissenschaften atau ilmu-ilmu alam.
· Max Weber, menegaskan bahwa ilmu sosial dapat mengambil alih metode ilmu alam sehingga mengusulkan metode Erklaeren, tetapi juga sekaligus dapat menggunakan metode ilmu-ilmu humaniora yaitu metode interpretasi atau Verstehen. Ilmu sosial dapat bersifat bebas nilai (Wertfreiheit) tetapi juga sekaligus menegaskan adanya relevansi nilai (Werturteil) dalam memahami gejala sosial. Pemikiran Weber ini menjadi peletak epistemologi to go beyond Neo-Kantian.



Tapi pada akhirnya kaum positivisme memenangkan perdebatan metodologi ilmu ekonomi, karena dukungan komunitas ilmiah. Sehingga ilmu ekonomi berusaha mensejajarkan diri dengan ilmu alam dengan mengambil alih metode ilmu alam. Para Filosof yang tidak setuju dengan status itu (mereka yang mendukung ilmu ekonomi dengan wawasan historis, seperti Weber) akhirnya terserap dalam sosiologi. Mereka mengembangkan ekonomi dengan wawasan historis dan budaya pada perkembangan lebih lanjut masuk dalam disiplin sosiologi ekonomi. Hegemoni positivisme dalam ekonomi atau sosiologi ditandai dengan dominasi logika deduktif-logis yaitu metode survey dan statistik dalam analisis, bukannya metode historis dan interpretatif.
Juergen Habermas menentang dominasi ini, dia mengakui kehebatan positivisme tetapi sekaligus meletakkan positivisme sesuai dengan porsinya dalam ilmu-ilmu sosial.



KEKUASAAN PEMBANGUNAN, LOGIKA POSITIVISME DAN HEGEMONI METODE SURVAI : SEBUAH PENGALAMAN POLITIK AKADEMIK ORDE BARU
Hegemoni positivisme dalam metode pembangunan dan metode penelitian di Indonesia juga memunculkan beberapa kelemahan seperti yang telah berlangsung selama ini. Beberapa argumen yang disarikan dari buku ini dapat di kemukakan sebagai berikut.
· Hasil penelitian sebenarnya adalah sarana kontrol jalannya pembangunan tetapi di Indonesia fungsi ini tidak ada, malah metode penelitian sering bias kepada prioritas-prioritas pembangunan itu sendiri.
· Pembangunan sangat deterministik terhadap kegiatan akademik dan kurang akomodatif.
· Perbincangan pembangunan mendominasi bidang akademik, target-target pembangunan berdampak pada pemilihan dan penggunaan metode penelitian sosial yang dianggap relevan untuk mendukungnya, dimana metode penelitian empiris-analitis sangat mendominasi.
· Metode survai, statistik atau metode empiris-analitis ini dibuat sedemikian rupa sehingga hipotesisnya mengarah pada generalisasi atau prediksi, ini membuat hasil-hasilnya tidak berpihak pada realita di bawah.
· Karena kepentingan teknis, metode empiris-analitis kurang mampu melakukan refleksi kualitatif perkembangan sosial, sehingga cenderung dipakai sebagai instrumen legitimasi kesuksesan pembangunan dengan cara menunjukkan standar-standar kesuksesan yang bersifat kuantitatif.
· Metode empiris-analitis lebih bersifat melayani pembangunan daripada mengontrolnya.

Apabila pembangunan ke depan lebih menitik beratkan pada kualitas manusia atau manusia sebagai pusat pembangunan, maka perlu memberikan ruang gerak yang lebih lebar kepada metode penelitian historis-hermeneutis dan kritis. Beberapa permasalahan pembangunan justru akan lebih mengenal dengan metode ini.
· Model pembangunan yang menitik beratkan pembangunan manusia seutuhnya mempunyai kepentingan ideologis yang sama dengan metode penelitian historis-hermeneutis dan kritis, yaitu kepentingan praktis dan emansipatoris dalam konteks pembangunan manusia.
· Metode penelitian historis-hermeneutis dan kritis berupaya memahami manusia dari dimensi interaksi sosial budaya baik horisontal (inter-subyek) dan vertikal (kesejahteraan dan aspirasi) dan melalui analisis reflektif berupaya membebaskan manusia dari belenggu ideologis atau struktur politik yang mengungkungnya. Kedua metode penelitian ini bersifat humanis dan dapat menjadi kontrol jalannya pembangunan.
· Penerapan positivisme dapat dibenarkan bila sesuai dengan proporsinya, yaitu sejauh untuk mendapatkan data dan bukan dipakai untuk memprediksidan melalui tekanan politis dipergunakan untuk menentukan jalannya sejarah. Kita dapat menggunakan masing-masing metode (empiris-analitis, historis-hermeneutis dan kritis) secara parsial dan integratif sesuai kasus yang dihadapi.



IMPLIKASI TERHADAP METODE PENELITIAN SOSIAL
Setelah memperhatikan perdebatan metodelogi dan realitas politis di Indonesia persoalan selanjutnya, khususnya yang berkaitan dengan masalah akademik, adalah bagaimana metodologi penelitian sosial diajarkan secara komplit kepada mahasiswa, tidak berat sebelah dan tidak juga mengalami bias positivisme. Untuk itu perlu reformasi substansi metodologi penelitian, dimana taksonomi epistemologi dari Juergen Habermas dapat dipakai acuan yaitu :



Taksonomi Epistemologi Juergen Habermas

Dimensi Kerja Dimensi Kom. Dimensi Kekuasaan

Kepentingan teknis praktis emansipatoris
Pengetahuan informatif interpretatif analisis
Tindakan rasional-tujuan komunikatif emansipatoris
Ungkapan deduktif-nomologis induktif-dialogis perbincangan
Linguistik monologal emansipatoris
Metodologi empiris-analitis historis-hermeneutis refleksi diri
Sistemik Metodis ilmu-ilmu alam & sosial empiris humaniora teori kritis




1. Metodologi penelitian sosial, berisi lebih dari sekedar masalah teknis penelitian tetapi juga mencakup aspek-aspek dan diskursus metodologi penelitian. Antara lain mencakup perdebatan tentang metodologi, positivisme hingga perselisihan metodologi yang sedang berlangsung saat ini.
2. Metode penelitian kuantitatif, bila mengikuti taksonomi mencakup metode penelitian empiris-analitis, yang antara lain mencakup : pemahaman atas logika deduksi, logika survai, termasuk bagaimana survai dikaitkan dengan analisis statistik, bila memungkinkan diajarka bagaimana teknik content analysis.
3. Metode penelitian kualitatif berisikan metode penelitian historis-hermeneutis yang antara lain mencakup logika induksi, deduksi, metode fenomenologi, etnometodologi, hermeneutika, dan interpretasi. Jika memungkinkan metode refleksi-diri (metode kritis).
4. Statistik sosial berisikan materi-materi yang berkaitan dengan teknik-teknik statistik yang relevan dan mutakhir, terutama sebagai penjabaran lebih lanjut dari mata kuliah metode penelitian kuantitatif.

KESIMPULANKU
Dari beberapa argumentasi yang muncul dalam buku yang ditelaah dapat disimpulkan bahwa :
1. Perdebatan metodologi ilmu-ilmu sosial masih berlangsung walau dalam itensitas yang berbeda dengan beberapa abad yang lalu.
2. Pemikiran Juergen Habermas memberikan jalan keluar yang cemerlang untuk mengurangi perdebatan metodologi dan positivisme tersebut dengan melakukan rekontruksi metodologi sehingga muncul metode historis-hermeneutis dan kritis.
3. Pembangunan yang berpusat pada manusia perlu menggunakan metodologi yang mempunyai kesamaan ideologis dengan pembangunan manusia yaitu metode historis-hermeneutis dan kritis.
4. Penggunaan metode empiris-analisis (positivisme) dibenarkan sesuai dengan proporsinya sejauh tidak memprediksi jalannya sejarah apalagi mengeneralisasi semua kasus.
5. Pembelajaran metode penelitian dapat memakai acuan pada taksonomi Juergen Habermas untuk memberikan pemahaman metode penelitian .

Read More (Lihat lebih Detail)......

Paradigma Holistik


Dialog Filsafat, Sains, dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead

(intisari dari sebuah buku)
Dunia telah menampakkan adanya problem-problem yang belum mendapatkan penyelesaian, berbagai problem krisis global yang serius menghadang di tengah perjalanan hidup saat ini dan mendatang. Jaman globalisasi memasuki millennium ketiga membawa banyak problem yang serius dan krisis global yang kompleks dan multi dimensional yang menghantui umat manusia. Krisis ekologis, kekerasan, dehumanisasi, moral, kriminalitas, kesenjangan sosial yang kian menganga, kelaparan dan penyakit merupakan problem yang saling terkait satu dengan yang lainnya.
Berbagai krisis global tersebut menurut pandangan beberapa filsuf termasuk penulis buku ini, diakibatkan paradigma yang dianut selama lebih 300 tahun yang bersifat mekanistis-atomistik-deterministik yang diistilahkan sebagai Paradigma Cartesian-Newtonian. Paradigma ini dipelopori oleh pemikiran Descartes dan Newton yang telah menghegemoni dunia selama ini.
Untuk mengatasi problem tersebut Penulis mencoba mensintesis pemikiran Mulla Sadra dan Whitehead dan mengajukan suatu paradigma alternatif yang diistilahkan sebagai Paradigma Holistik, pemikiran Penulis dalam banyak hal dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Arnold Toynbe, Fritjof Capra dan beberapa Filsuf lainnya.Buku ini terdiri dari empat Bab yang tersusun mulai dari Pendahuluan (Bab I) yang membahas lingkup permasalahan yang terjadi saat ini sampai pada sistematika penulisan buku ini, Bab II memaparkan hegemoni paradigma “Cartesian-Newtonian” selama kurang lebih 300 tahun dalam kehidupan manusia yang lebih memperlihatkan dualisme yaitu pemisahan kesadaran dan materi. Bab III mengungkapkan perkembangan sains dan implikasi filosofisnya dimana penulis mengambil contoh pada dua bidang ilmu yaitu fisika dan biologi dimana perkembangan ilmu pengetahuan semakin jelas menjauh dari paradigma sebelumnya. Bab IV berisi suatu paradigma yang dapat merekonsilisasi kesadaran dan materi atau antidualisme yang mengarah pada suatu paradigma baru yang dinamai paradigma Holistik, dimana penulis banyak dipengaruhi pandangan ontologi Sadra dan kosmologi Whitehead. Bab terakhir (Bab V) merupakan kesimpulan dari inti permasalahan yang mengarah pada karakteristik paradigma Holistik-Dialogis.
Mengapa paradigma holistik diperlukan
Penulis mengambil suatu latar belakang mengapa Paradigma Holistik ini diperlukan dari berbagai kejadian dan pendapat dengan menitik beratkan pada suatu istilah yang diberikan Capra yaitu Krisis Presepsi dan mencoba menjelaskan bagaimana suatu tuntutan paradigma baru dibutuhkan.
Perkembangan sains dan teknologi yang spektakuler pada abad ke-20 ternyata tidak selalu berkorelasi positif dengan kesejahteraan manusia. Arnold Toynbee menyebutkan terjadinya ketimpangan yang sangat besar antara sains dan teknologi yang berkembang sedemikian pesat dan kearifan moral dan kemanusiaan yang sama sekali tidak berkembang, kalau tidak dikatakan malah mundur ke belakang. Bahkan Fritjof Capra mengemukakan bahwa krisis-krisis global di muka dapat dilacak pada cara pandang dunia manusia modern. Pandangan dunia yang diterapkan selama ini adalah pandangan dunia mekanistik-linier Cartesian dan Newtonian (disebut sebagai Paradigma Cartesian-Newtonian). Paradigma Cartesian-Newtonian disatu sisi berhasil mengembangkan sains dan teknologi yang memudahkan kehidupan manusia, namun di sisi lain mereduksi kompleksitas dan kekayaan manusia itu sendiri. Pandangannya yang mekanistik terhadap alam telah melahirkan pencemaran udara, air, tanah yang mengancam balik kehidupan manusia. Penekanan yang berlebihan pada metode ilmiah eksperimental dan rasional analitis telah menimbulkan sikap-sikap yang antiekologis. (hal. 2).

Krisis Persepsi
Karena paradigma Cartesian-Newtonian bersifat analitis-reduksionis, mekanistik dan linier sehingga akan memilah-milah, mengisolasi, dan mendistorsi keaneka ragaman dan dinamika realitas maka berakibat realitas yang plural dan saling terkait antara satu dengan yang lainnya tidak mampu dipersepsi dan digambarkan oleh paradigma tersebut. Alih-alih memahami realitas secara tepat, ketidakmampuan ini justru menimbulkan persoalan-persoalan yang lebih besar, karena pemahaman yang salah atau bersifat reduksionis terhadap realitas juga akan berimplikasi kepada penanganan dan pemecahan masalah yang tidak memadai dan cenderung simplistik, yang pada gilirannya membawa persoalan makin kompleks.
Capra menegaskan bahwa krisis multidimensional dan kompleks yang melanda dunia sekarang ini berawal dari krisis presepsi. Paradigma Cartesian-Newtonian tidak dapat lagi dipakai untuk memahami realitas yang menampakkan keterkaitan satu sama lain di antara fenomena biologi, fisik, sosial, spritual dan lingkungan (hal. 7).
Pada tataran teoritis, krisis presepsi telah terjadi terlebih dahulu. Perkembangan ilmu pengetahuan di luar perkiraan dan harapan manusia modern, telah mengguncang sendi-sendi positivisme yang selama ini menjadi fondasi manusia modern dalam memaknai perkembangan sains. Munculnya fisika modern dengan teori relativitas Einstein dan teori kuantum telah mengguncang mekanika klasik Newtonian dan paradigma positivisme yang telah tiga abad dianut manusia modern.
Krisis epistemologis dalam istilah Thomas Kuhn dalam buku ini sebagai krisis paradigma, ini pada gilirannya mengguncang keyakinan manusia modern terhadap sains sebagai representasi realitas. Akibatnya, berkembanglah pragmatisme-instrumentalistik, skeptisisme dan nihilisme yang tidak lagi mempunyai apresiasi tinggi terhadap sains, rasionalitas, dan kebudayaan bahkan terhadap seluruh pengetahuan manusia. Generasi sophisme modern telah lahir, manusia mundur 2500 tahun kembali ke sofisme yunani klasik. (hal. 8)
Keguncangan epistemologi atau paradigma sains itu terjadi karena pandangan dunia Cartesian-Newtonian yang dianut kebanyakan manusia modern tidak sanggup lagi mencerna dan memahami fenomena-fenomena perkembangan sains mutakhir. Ironisnya, fenomena-fenomena yang tak terpahami justru muncul dari sains fisika yang oleh penganut Cartesian-Newtonian dianggap induk ilmu pengetahuan.

Tuntutan Paradigma Baru
Dengan begitu banyaknya persoalan besar yang menghadang peradaban global sekarang dan tidak sesuainya tuntutan perkembangan zaman dengan cara pandang manusia maka dengan pengakuan terhadap adanya dinamika realitas maka menuntut sebuah pandangan dunia yang lebih cair dan menyeluruh agar realitas itu terpahami, sementara itu manusia modern sekarang pada umumnya masih menganut pandangan dunia yang rigid dan mekanistik, yaitu Paradigma Cartesian-Newtonian. Munculnya mesin-mesin digital yang membelah sekat pemisah antar kelompok dan menjadikan mereka intens untuk berkomunikasi, tetapi kemudahan berkomunikasi tidak meningkatkan kualitas komunikasi untuk membangun dialog kemanusiaan dan peradaban tetapi justru tidak meningkatkan saling pemahaman dan kepercayaan malah mendorong kelompok-kelompok untuk menyalurkan hasrat dominasi dan eksploitasi mereka. Disatu sisi, arus global telah menghilangkan batas-batas ruang fisik yang mestinya makin mendekatkan relasi antar manusia dalam iklim yang lebih terbuka, dialogis, toleran dan plural. Namun di lain sisi cara pandang yang dianut kebanyakan manusia tidak memungkinkan relasi yang dialogis dan humanis itu terwujud karena pandangan dunia mereka berkarakter mekanistik, atomistik, dualistik, oposisi biner, reifikasi dan materialistik.
Husain Heiyanto sebagai penulis banyak dipengaruhi Filsuf lain seperti pendapat Jurgen Habermas yang dikatakan Muhhamad Khatani yang mengatakan dialog peradaban menuntuk rasionalitas-komunikatif sementara dalam kenyataannya kebanyakan manusia dari berbagai tradisi peradaban sekarang ini masih menerapkan rasionalitas-instrumental. Oleh karena itu manusia modern benar-benar membutuhkan sebuah pandangan dunia baru untuk dapat menanggulangi krisis-krisis dan problem-problem global, pemikiran, persepsi dan nilai yang dianut selama tiga abad ini harus diubah secara mendasar. (hal. 10)
Fritjof Capra mengajukan pemikiran bahwa “ Kita memerlukan sebuah revolusi budaya dalam pengertian sejati. Keberlangsungan seluruh peradaban kita akan sepenuhnya tergantung apakah kita mampu mengadakan perubahan tersebut atau tidak ….. Kita memerlukan sebuah paradigma baru, visi baru tentang realitas, perubahan yang mendasar pada pemikiran, persepsi, dan nilai yang kita anut selama ini… “ (hal. 12).
Pandangan dunia baru yang ditawarkan adalah Paradigma Holistik yang merupakan cara pandang yang menyeluruh dalam mempersepsi realitas. Sebagai sebuah pandangan dunia, paradigma baru itu dapat juga disebut sebagai filsafat holistik, sebagai salah satu varian paradigma pospositivisme sebuah cara pandang untuk mengisi kekosongan pemaknaan dan paradigma dalam memahami realitas dan sains setelah tumbangnya positivisme sebagai satu-satunya paradigma. Dalam konteks ini diharapkan filsafat holistik dapat memberikan kontribusi berharga bagi pematangan paradigma pospositivisme.
Hegemoni Paradigma Cartesian-Newtonian
Paradigma Cartesian-Newtonian telah menghegemoni cara pandang manusia modern, karena paradigma ini telah menjadi bagian cara-berada dari sistem, pola, dan dinamika modernisme, terlepas dari kenyataan apakah manusia modern menyadari hal ini atau tidak. Pengalaman sehari-hari tidak berdiri dan lepas dari filsafat dan gambaran tentang dunia yang dianut manusia modern dipengaruhi oleh cara pandang sains modern.
Hegemoni Paradigma Cartesian-Newtonian terhadap pandangan dunia manusia modern terkait erat dengan kenyataan sejarah bahwa peradaban modern memang dibangun atas dasar ontologi, kosmologi, epistemologi dan metodologi yang dicanangkan oleh dua tokoh utama penggerak modernisme, yaitu Rene Descartes dan Isaac Newton.
Tanpa mengesampingkan tokoh-tokoh ilmuwan lainnya, Alfred North Whitehead, Fritjof Capra, Seyyed Hossein Nasr, Thomas Kuhn, adalah contoh cendikiawan-filsuf yang menyebut Deccartes dan Newton sebagai pembangun fondasi pandangan dunia peradaban modern. (hal. 27).
Penulis memberikan bukti mengapa Descartes dan Newton dianggap pencetus paradigma tersebut. Hegemoni Paradigma Cartesian-Newtonian dimulai dari beberapa tokoh medernisme yang beberapa pandangannya dapat dituliskan sebagai berikut :

1. Pemikiran Rene Descartes (1596 – 1650)
Buku pertamanya magnum opus, ia mendobrak total seluruh pemikiran tradisi, ia menyatakan untuk perlunya menolak segala sesuatu yang datang dari tradisi dan otoritas dengan menempatkan rasio subjek sebagai titik pangkal bahwa manusia yang berpikir sebagai pusat dunia. Subjektifitas Descartes mengacu pada aktivitas rasio subjek
Descartes berupaya mematematikakan seluruh jenis pengetahuan manusia selaras dengan asumsi kosmologinya yang memandang alam memiliki struktur matematis. Dia tidak menerima apapun sebagai kebenaran jika tidak dapat dideduksi dengan gambaran matematika, dari pengertian-pengertian umum yang kebenarannya tidak dapat kita ragukan. Semua fenomena alam dapat dijelaskan dengan cara deduksi matematika.
Upaya Descartes untuk mematematikasi alam mendorongnya untuk berkesimpulan alam raya tak lain adalah mesin raksasa. Keterpilahan pemikiran dengan tubuh ini menjadi konsep sentral ontologi dan epistemologi Descartes yang dikenal dengan paham Dualisme. Dualisme pada gilirannya menciptakan pola pikir yang serba dikotomis atau logika biner. Kombinasi paham dualisme ini dengan gagasan matematisasi alam materi menggiring Descartes berkesimpulan bahwa tubuh tidak lain adalah sebuah mesin raksasa. Dalam pandangan Descartes, alam bekerja sesuai dengan hukum-hukum mekanik, dan segala sesuatu dalam alam materi dapat diterangkan dalam pengertian tatanan dan gerakan dari bagian-bagiannya. Tidak ada tujuan, kehidupan dan spirtualitas dalam alam semesta. (hal.34)

2. Pemikiran Isaac Newton (1642-1727)
Pemikiran Newton sangat dipengaruhi oleh beberapa tokoh yang lahir sebelumnya seperti Descartes, Copernicus, Kepler, Galileo, dan Bacon. Newton terlahir untuk merangkum seluruh prestasi dan karya ilmiah yang telah dicapai tokoh-tokoh tersebut.
Copernicus (1473-1543) merintis revolusi ilmiah dengan mengubah pandangan manusia terhadap tatanan kosmos dari geosentris ke heliosentris, bahwa bumi dan planet-planet mengelilingi matahari. Bumi tidak lagi menjadi pusat dunia sebagai pandangan Ptolemeus dan gereja.
Johannes Kepler (1571-1626) mendukung sistem Copernicus dengan merumuskan hukum-hukum empiris tentang gerak planet dan menemukan bahwa benda-benda angkasa lembam tak berdaya yang is sebut memiliki kelembaman (inersia).
Galileo (1546-1642) berhasil menetapkan hipotesis Copernicus menjadi teori ilmiah yang diterima secara umum oleh ilmuwan. Ia juga orang pertama yang memadukan percobaan ilmiah dengan bahasa matematika.
Francis Bacon (1561-1626), tokoh revolusi ilmiah yang mengintroduksi metode eksperimental dalam metode keilmuwan. Ia sangat menekankan metode induksi-empiristik dan menjadikan satu-satunya sebagai metode ilmiah yang sah dalam pengembangan ilmu.
Bacon dan Descartes sama-sama berpandangan mekanistik-atomistik terhadap alam, dan juga memandang ilmu sebagai alat yang membuat manusia menjadi penguasa dan pemilik alam. Lewat bukunya “Knowledge of power” Bacon jelas sekali memandang pengetahuan adalah kekuasaan dan memimpikan sebuah negara yang berteknologi tinggi, Bacon mengidentifikasi kebenaran dengan identifikasi kegunaan industrialisasi.
Bacon sangat populer dengan sikap pragmatis-fungsional terhadap ilmu. Baginya ilmu hanya bermakna jika dapat diterapkan secara praktis. Dalam pandangan Nasr Bacon berperan penting dalam mempopulerkan sains baru yang lebih berperan sebagai pencarian kekuasaan guna mendominasi alam daripada memahami alam, sedemikian sehingga berakibat pada pemaksaan alam untuk melayani kepentingan material manusia.
Newton menggabungkan mimpi visioner rasionalisme Descartes dan visi empirisme Bacon agar dapat ditransformasikan ke dalam kehidupan nyata melalui peletakan dasar-dasar mekanika. Ia memadukan Copernicus, Kepler, Galileo di bawah asumsi kosmologi Descartesian yang mekanistik, atomistik, deterministik, linier dan serba kuantitatif dan pada saat yang sama ia menerapkan metode eksperimental-induktif Baconian.

Asumsi-asumsi Paradigma Cartesian-Newtonian 1. Subjektivisme-Antroposentristik
Prinsip ini merepresentasikan modus khas kesadaran modernisme bahwa manusia merupakan pusat dunia. Hal inilah yang membuat Descartes membalikkan skema pendekatan metafisis dengan menolak cara-cara lama berfilsafat atau pendekatan tradisional. Prinsip ini juga mempunyai ciri dominasi manusia terhadap alam raya.2. Dualisme
Prinsip ini membagi realitas atas subjek dan objek, manusia dan alam, dengan menempatkan superioritas subjek atas objek. Dualisme ini juga meliputi pemisahan yang nyata dan mendasar antara kesadaran dan materi, pikiran dan tubuh, antara jiwa dan benda serta antara nilai dan fakta.3. Mekanistik-Deterministik
Realitas dapat dipahami dengan menganalisis dan memecah-mecahnya menjadi bagian-bagian kecil, lalu dijelaskan dengan pengukuran kuantitatif, hasil penyelidikan dari bagian-bagian kecil lalu digeneralisir untuk keseluruhan. Alam semesta termasuk manusia dipandang sebagai mesin besar yang dapat dipahami dengan menganalisis bagian-bagiannya. Jadi dalam pandangan mekanistik, keseluruhan adalah identik dengan jumlah dari bagian-bagiannya, persis sama dengan perhitungan kuantitatif dalam matematika.
Deterministik merupakan paham yang memandang alam sepenuhnya yang dapat dijelaskan, diramal, dikontrol berdasarkan hukum-hukum yang deterministik (pasti, niscaya) sedemikian rupa sehingga memperoleh kepastian yang setara dengan kepastian manusia.4. Reduksionisme-Atomistik
Alam semesta semata-mata dipandang sebagai mesin yang mati tanpa makna simbolik dan kualitatif, tanpa nilai, tanpa cita rasa etis dan estetis, alam benar-benar kosong dari nilai spritualitas. Berman mengistilahkan paham ini sebagai non-participant consciousness. Paradigma Cartesian-Newtonian telah meniadakan unsur-unsur kualitatif, simbolik, maknawi alam raya. Paham ini telah menggerus dan memiskinkan kekayaan dan pluralitas realitas sedemikian, sehingga hanya memiliki sebuah pandangan tunggal linier terhadap realitas.5. Instrumentalisme
Kebenaran suatu pengetahuan atau sains diukur dari sejauh mana ia dapat digunakan untuk memenuhi kepentingan – kepentingan material dan praktis. Newton telah dapat merumuskan secara matematis teori gravitasi tetapi tidak mengetahui mengapa dan apa penyebab gravitasi itu.. Habermas menyatakan sains modern memungkinkan kontrol teknis terhadap alam dan masyarakat, sains tidak lagi berhubungan dengan peningkatan kearifan kemanusiaan.6. Materialisme-Saintisme
Kelima pandangan di atas menyebabkan adanya pandangan materialisme-saintisme (materialisme ilmiah). Tidak lagi memasukkan unsur Tuhan dalam pergerakan alam. Newton percaya dengan Tuhan, Tuhan menciptakan partikel-partikel benda, kekuatan-kekuatan antar partikel dan hukum gerak dasar, tetapi setelah tercipta alam semesta terus bergerak seperti sebuah mesin yang berputar menurut hukum-hukum deterministik. Tiada tempat bagi fenomena yang tidak dapat diukur dalam filsafat eksperimental merupakan pandangan positivisme.
Paham – paham diatas menghegemoni peradaban manusia dalam kurun waktu hampir 300 tahun melalui proses sejarah yang panjang, yang diawali terbentuknya pembentukan subjektivitas manusia melalui sejarah peradaban modern sampai pada pendasaran filosofis menuju paham positivisme dan adanya budaya saintisme. Dan akhirnya paradigma ini yang dianut positivisme dan budaya saintisme telah menjadi wabah yang menjangkiti pelbagai dimensi kehidupan kita, baik di dunia ilmiah, dunia pendidikan, praktik medis, psikiatri maupun kehidupan sosial.
Asumsi-asumsi dan hegemoni Paradigma Cartesian-Newtonian dalam buku ini dijelaskan secara gamblang mulai halaman 31 sampai 71.
Perkembangan Sains dan Implikasi Filosofisnya Paradigma baru muncul juga dilatarbelakangi oleh aliran filsafat pospositivisme yang berkembang setelah adanya perkembangan sains itu sendiri. Dalam ilmu fisika dan biologi berkembang teori-teori baru yang revolusioner sehingga dapat menggembosi pondasi-pondasi sains modern itu sendiri. Fisika merupakan sains yang paling mendominasi wacana ilmiah modern bahkan menjadi model bagi sains lainnya, tetapi perkembangan fisika baru malah mengkritisi pondasi sains modern karena ditemukan teori yang sebelumnya tidak pernah dapat dijawab oleh sains modern seperti : Teori Relativitas (Albert Einstein), Teori Kuantum (Interpretasi Copenhagen), Fisika Bootstrap, Dissipative Structure (Ilya Prigogine).
Juga dalam ilmu biologi yang berkembang seperti Biologi Molekuler, Genetika, Neuro science dan Teori Evolusi memungkinkan membangun paradigma yang non mekanistik, nonlinier, nonkuantitatif yang semua karakter ini lebih dipenuhi oleh sistem-sistem hidup.
Perkembangan sains ini telah berimplikasi pada tatanan filosofis dengan adanya pemikiran pospositivisme yang salah satu variannya adalah munculnya paradigma holistik untuk manjawab berbagai problema yang muncul karena adanya hegemoni paradigma Cartesian-Newtonian pada era sekarang ini.
Rekonsiliasi Kesadaran dan Materi
Langkah pertama dan terpenting untuk mengatasi paradigma Cartesian-Newtonian adalah menawarkan paradigma baru yang holistik untuk menyelelesaikan problem dualisme atau keterpilahan kesadaran dan materi. Rekonsiliasi kesadaran dan materi merupakan paham yang bertolak belakang dengan paham dualisme dan dari rekonsiliasi pula akan terbentuk suatu paradigma baru yang disebut paradigma holistik.
Dengan dasar pemikiran di atas, perlu dimanfaatkan penemuan filosofis yang sangat penting dan agaknya sejauh ini paling memuaskan dalam penyelesaian problem dualisme. Gagasan segar dan orisinal ini datang dari Shadr Al-Din Al-Shirazi, yang lebih populer dengan nama Mulla Shadra (1572-1641). Filsuf Persia yang hidup sejaman dengan Descartes. Gagasan ini terkenal dengan istilah gerak trans-substansial. Sejalan dengan proses penyelesaian problem dualisme Filsafat Proses atau Fisafat Organisme Alfred North Whitehwad (1815-1947) yang banyak memiliki kesamaan dengan ontologi Mulla Sadra, dapat disintesiskan menuju terbentuknya paradigma baru yang dicanangkan.
Gerak Trans-Subtansial Mulla Sadra menyatukan Kesadaran-Materi
Pemikiran Sadra bermula dari penyelidikan eksistensial terhadap realitas. Metafilsafatnya didasarkan atas eksistensi (wujud) sebagai satu-satunya konstituen realitas. Eksistensi identik dengan realitas, sedang esensi atau kuiditas hanyalah kontruksi mental.
Sistem ontologi Sadra didasarkan atas tiga prinsip utama yaitu : (1) primasi eksistensi, (2) gradasi eksistensi, (3) gerak trans-substansial.
Prinsip primasi eksistensi merupakan landasan utama filsafat Sadra, dimana memprioritaskan eksistensi atas semua konsep dan esensi, serta memandang eksistensi sebagai satu-satunya realitas substantif. Ia menolak dualisme eksistensi-esensi dalam realitas, dualisme itu hanya muncul dalam pikiran.
Oleh karena itu eksistensi bukanlah atribut suatu entitas seperti terdapat dalam kalimat “Manusia ada” dan lebih tepat dikatakan “ini manusia”. Karena esensi adalah tidak ada dalam dirinya sendiri
Prinsip Gradasi Eksistensi, melihat eksistensi sebagai suatu realitas yang mengambil bagian dalam gradasi intensitas dan kesempurnaan. Eksistensi itu tidak statis tetapi bergerak terus menerus dari kurang sempurna ke yang lebih sempurna, dan bersifat satu arah tidak dapat dibalik. Sadra mengakui eksistensi merupakan relitas tunggal tapi menghargai keunikan segenap modus-modus eksistensi yang nampak dalam dunia plural (beragam), dapat disebutkan bahwa Prinsip Gradasi Eksistensi Sadra berarati mengakui keragaman dalam kesatuan bukan kesatuan dalam keragaman.
Shadra mengajak kita memasuki sistem ontologi eksistesial yang holistik, merupakan gambaran perbedaan paradigma mekanistik-atomik dengan paradigma holistik-dialogis. Jadi prinsip-prinsip ontologi Sadra dapat disimpulkan. Pertama, bahwa sistem ontologi Sadra bercorak eksistesialisme-holistik, karena diterapkan pada seluruh wujud yang terdapat di alam raya, tidak hanya pada eksistensi manusia sebagaimana eksistensi barat. Kedua, sistem ontologis Sadra dapat menjelaskan unitas dan pluralitas dengan lebih adil dan proporsional melalui analisis eksistensial terhadap dinamika realitas. Ketiga, sistem ontologi Sadra berkarakter dinamis, holistik dan sistemik. Kempat, sistem ontologi Sadra dapat secara konstruktif membangun paradigma baru untuk aktivitas-aktivitas ilmiah, kebudayaan dan kehidupan sosial pada umumnya.
Gerak trans-substansial adalah jika badan-badan padat dicairkan dan dianalisis ke dalam suatu faktor potensialitas gerak murni yang disebut materi dan suatu faktor yang mengaktualisasikan yang disebut forma fisik atau hakikat jasmani yang secara terus menerus berubah dan menimbulkan suatu kontinum ruang-waktu, dalam arti bahwa tidak ada ruang dan juga tidak ada waktu yang eksis secara independen, melainkan keduanya merupakan fungsi-fungsi atau aspek-aspek gerak kontinu yang terintegrasi. Alam raya saling berjalinan yang tak terpisahkan sehingga harus dipahami secara holistik, bahwa ruang waktu bukanlah dua entitas tetapi satu kesatuan, bahwa alam raya senantiasa dinamis dan terus berkembang tanpa henti untuk setiap saat memperbaharui diri sehingga paham deterministik tidak dapat lagi memahami alam secara keseluruhan.
Gerak trans-substansial itulah yang menjembatani kesadaran dan tubuh kita, mengapa manusia berbeda-beda karena laju gerak trans-substansial atau gerak dalam substansi partikular masing-masing individu berbeda.
Sesuai dengan pandangan eksistensialisme , Sadra menyatakan esensi kita sebagai manusia bermacam-macam. Modus eksistensi kitalah yang menentukan siapa kita (esensi kita) disinilah munculnya pluralitas diantara manusia itu sendiri, yaitu esensi kemanusiaan seseorang tergantung sepenuhnya kepada proses penyingkapan eksistensi yang ia lakukan.

Filsafat Organisme Whitehead

Alfred North Whitehead (1861-1947) terkenal sebagai filsuf yang mempunyai pemikiran orisinal. Dalam banyak hal ia sering mengkritik pemikiran Aristoteles tentang “substansi” tetapi menerima pandangan realisme Aristoteles. Whitehead banyak dipengaruhi oleh pandangan John Locke, Henry Bergson, William James dan John Dewey.
Ia mengemukakan empat gagasan baru yang muncul alam fisika dan biologi yaitu, cahaya sebagai gelombang elektromagnet yang bergerak tanpa medium (bertentangan dengan teori ether dan korpuskuler Newton), penemuan partikel sub atom yang menggugurkan pandangan atomisme (atom sebagai satuan materi terkecil), gagasan konservasi energi yang lalu menggeser posisi materi sebagai konsep sentral fisika dan gagasan evolusi.
Pandangan organisme dalam kosmologi Whitehead didasarkan pada beberapa konsep dasar yaitu : (1) satuan-satuan aktual, (2) proses organis, (3) prinsip relativitas, (4) kreativitas, (5) pansubjektivisme.
Segala sesuatu merupakan satuan-satuan aktual atau derivasi satuan-satuan aktual, dan satuan aktual adalah satu-satunya alasan, sebab, penjelasan sehingga setiap mencari sebuah penjelasan adalah mencari satu atau lebih satuan aktual. Satuan aktual dapat manusia, binatang, sel, partikel bahkan Tuhan.
Proses organis menurut Whitehead adalah kegiatan yang saling berkaitan yang bekerja secara organis. Alam semesta dipandang bergerak secara organis yang dikarakterisasi dengan adanya saling keterkaitan antara unsur-unsur pembentuknya. Sebagai ganti kata mesin dalam materialisme ilmiah Whitehead mengambil simbol dasar organisme, bahwa seluruh realitas bersifat dinamis, selalu berubah dan mengandung unsur-unsur baru, seluruh realitas berproses dan unsur-unsurnya saling terkait.
Prinsip Relativitas, setiap satuan aktual hadir dalam setiap satuan aktual yang lain. Sedangkan Kreativitas adalah prinsip kebaruan, yaitu suatu daya dinamis alam semesta yang memungkinkan terjadinya proses perubahan terus menerus yang memunculkan satuan-satuan aktual baru.
Prinsip yang terakhir dari Whitehead adalah Pansubjektivisme. Prinsip ini menjembatani antara manusia dan alam semesta. Pansubjektivisme berlaku bagi semua satuan aktual, mulai dari Tuhan, Manusia, binatang, tumbuhan, mineral dll. Bahwa segenap pengada di alam raya ini harus dipahami dan diperlakukan sebagai subjek. Disini jelas bertentangan dengan subjektivisme Cartesian-Newtonian yang mendikotomi manusia sebagai satu-satunya subjek dan alam semesta sebagai objek. Prinsip pansubjektivisme pada giliranya menempatkan manusia sebagai bagian dari alam semesta.

Sumbangan Sadra dan Whitehead dalam Paradigma Holistik
Sadra dan Whitehead merupakan dua filsuf yang memiliki kemiripan karakter, yaitu kemampuan menggabungkan kecakapan refleksi metafisika spekulatif yang mendalam dengan kecakapan analisis yang tajam dalam menjelaskan pemikiran-pemikiran mereka. Pemikiran mereka cenderung berkarakter sama yaitu realis, kosmis, dinamis dan holistik. Jika ontologi Sadra bercorak eksistensial-kosmik maka kosmologi Whitehead bercorak organis-eksistensialis (nonmekanistik)
Sadra dan Whitehead sama-sama melihat alam pada esensinya adalah gerak. Gagasan-gagasan mereka yang holistik menentang pandangan antroposentrisme, dan juga pada saat yang sama menolak monisme dalam pelbagai variannya. Mereka sama-sama menekankan ketunggalan relasi-esensial alam semesta, dan pada saat yang sama juga mengapresiasi individualitas, pluralitas dan keragaman. Pemikiran mereka juga akrab dengan pengalaman atau bahasa mistisisme. Bagi mereka kosmos raya memiliki nilai instrinsik, memperona dan hidup.
Semoga kedua pemikiran di atas yaitu ontologi Sadra dan kosmologi Whitehead saling memperkaya dan memperkokoh sistem filsafat yang akan dibangun sebagai alternatif terhadap paradigma Cartesian-Newtonian.

Read More (Lihat lebih Detail)......

Sunday, April 13, 2008

About Me

Mencoba untuk mengisi kekosongan tulisan tentang bali dari sisi yang holistic, semoga bermanfaat bagi semua

Read More (Lihat lebih Detail)......