Thursday, May 8, 2008

MENGENAL JARDIKNAS

Jejaring Pendidikan Nasional


Jejaring pendidikan nasional adalah Wide Area Network (WAN) yang menghubungkan seluruh kantor dinas pendidikan propinsi, kabupaten/kota, sekolah-sekolah dan perguruan tinggi serta masyarakat pendidikan yang berada di dalam wilayah Republik Indonesia.

Jejaring ini dibuat untuk memperlancar dan mengoptimalkan arus komunikasi, data dan informasi antar pelaksana pendidikan, sehingga data dan informasi menjadi lebih optimal, lancar, transparan, efektif dan efisien.

Secara umum, Jardiknas dapat menjadi 4 zona, yaitu:

1. Zona Kantor Dinas Pendidikan / Institusi

2. Zona Perguruan Tinggi

3. Zona Sekolah

4. Zona Guru dan Siswa


1. Zona Kantor Dinas Pendidikan / Institusi


Zona ini menghubungkan kantor-kantor dinas pendidikan propinsi, kabupaten/kota, PPPG, LPMP, Balai Bahasa, SKB dan institusi pendidikan lainnya. Jaringan pada zona ini diprioritaskan untuk implementasi transaksi on line Sistem Informasi Manajemen (SIM) Pendidikan. Adapun data teknis untuk Zona ini adalah:

Total Node (Rencana 2007) : 717

Kapasitas per-node : 256 – 2000 Kbps

Media Koneksi : LC/FO/VSAT

Posisi NOC : Gedung C Lt. 7

Jalur Internet (Rencana 2007) : 50(100)Mbps/100 Mbps

Alokasi IP : Private IP (10.x.x.x)

Dari seluruh node yang ditargetkan pada tahun 2007, masih ada beberapa node yang belum terhubung dengan kendala:

1. Kantor Dinas yang dituju masih dalam tahap pembangunan/renovasi

2. Infrastruktur pendukung masih belum memungkinkan, misal listrik yang belum tersedia atau hanya berfungsi pada malam hari saja.

3. Kondisi keamanan yang tidak kondusif, seperti hilangnya peralatan yang sudah dipasang maupun kondisi daerah yang dalam kondisi rusuh.


Gambar 2.1 – Jardiknas Kantor Dinas/Institusi


4. Ada kendala teknis pada distribusi perangkat maupun link jaringan.

5. Kontak person pada beberapa lokasi sulit dihubungi untuk konfirmasi dan koordinasi peralatan.


2. Zona Perguruan Tinggi (Inherent)


Zona ini menghubungkan perguruan tinggi yang ada pada 32 propinsi, dan disebut juga dengan Inherent (Indonesia Higher Education Network) Jaringan ini diprioritaskan untuk pelaksanaan riset dan pengembangan perguruan tinggi, sehingga menggunakan bandwidth yang cukup besar.

Adapun data teknis untuk Zona ini adalah:

Kapasitas per-node : 2 - 155 Mbps

Media Koneksi : FO/VSAT

Posisi NOC : Wisma Aldiron

Jalur Internet : Tidak Ada


Gambar 2.2 – Jardiknas Perguruan Tinggi


3. Zona Sekolah


Zona ini dikembangkan pada tahun 2007 dan direncanakan akan menghubungkan 6500 sampai 10.000 sekolah, mulai dari jenjang SD hingga SLTA ke Jardiknas, sehingga terbangun sebuah sistem teknologi informasi hingga ke jenjang sekolah. Dengan adanya koneksi ini, diharapkan dapat terbangun sistem e-learning dalam dunia pendidikan di Indonesia secara menyeluruh

Secara umum, Jardiknas zona sekolah (SchoolNet) terdiri dari 3 jenis, yaitu:

1. SchoolNet ADSL

2. SchoolNet Wireless

3. SchoolNet Wimax

3.1 SchoolNet ADSL

Tipe koneksi ini menghubungkan sekolah-sekolah yang berada di kabupaten/kota dengan Jardiknas melalui jalur ADSL (Asymmetric Digital Subscriber Line).

Dengan menggunakan teknologi ADSL, maka komunikasi suara dan data dapat dilaksanakan secara parallel dengan hanya menggunakan 1 jalur kabel tembaga saja, sehingga untuk koneksi ke Jardiknas maupun internet cukup dengan menggunakan jalur telepon yang sudah ada.


Gambar 2.3 – SchoolNet ASDL

Namun, teknologi ini belum dapat dimanfaatkan di seluruh wilayah Indonesia, karena membutuhkan beberapa perangkat-perangkat yang spesifik, seperti : Digital Subscriber Line Access Multiplexer (DSLAM) dan BRAS, dimana perangkat ini hanya tersedia di beberapa kabupaten dan kota. Oleh sebab itu, teknologi ini pada tahun 2007 belum dapat dimanfaatkan di seluruh wilayah Indonesia. Depdiknas bekerjasama dengan PT. Telkom untuk menyediakan tipe koneksi ini, dimana sekolah-sekolah di kabupaten/kota yang telah mampu memanfaatkan teknologi ADSL, akan terhubung dengan Jardiknas melalui teknologi ini.

Bahasa marketing yang dipergunakan oleh PT. Telkom untuk layanan ini adalah Speedy. Beberapa fasilitas yang dapat diperoleh dari program ini adalah:

1. Setiap sekolah akan terkoneksi ke Jardiknas menggunakan link ADSL dengan kecepatan 64/384 Kbps.

2. Koneksi internet akan diberikan ke sekolah-sekolah tersebut melalui jalur Jardiknas secara unlimited (tanpa batas).

3. Sebagai backup koneksi, PT. Telkom akan memberikan konesi internet melalui Speedy dengan maksimal data 2,5 GB/bulan

4. Dukungan teknis di tiap-tiap sekolah dilakukan oleh PT. Telkom

5. Dukungan teknis online akan dilakukan oleh tim dari Depdiknas.

6. Karena terhubung langsung dengan Jardiknas, maka sekolah dapat menggnakan seluruh fasilitas Jardiknas dengan lebih cepat. Persyaratan utama agar sekolah dapat terhubung ke Jardiknas melalui jenis koneksi ini adalah:

1. berada pada layanan ADSL dari PT. Telkom;

2. memiliki line telepon;

3. menyediakan modem ADSL;

4. memiliki laboratorium komputer;

5. memiliki NPSN yang terpublish pada web site

http://npsn.jardiknas.org;

6. memiliki NISN yang terpublish pada web site

http://nisn.jardiknas.org;

7. memiliki NUPTK yang terpublish pada web site

http://nign.jardiknas.org;

8. memiliki tenaga teknisi jardiknas dari program 2006 atau akan menyediakan tenaga teknisi jardiknas untuk tahun 2007.

Adapun data teknis untuk program ini adalah:

Total Node (rencana) : 6000 Sekolah

Kapasitas per-node : 64 - 384 Kbps

Media Koneksi : Wireline

Posisi NOC : Gedung C Lt. 7

Jalur Internet : 50 Mbps/100 Mbps

Alokasi IP : Public IP


3.2 SchoolNet Wireless


Sehubungan dengan terbatasnya teknologi ADSL untuk dapat digunakan di seluruh wilayah Indonesia dan dengan memanfaatkan infrastruktur dari program WAN Kota maupun ICT Center yang telah dikembangkan oleh Depdiknas sejak tahun 2004, maka kolaborasi antara program Jardiknas dengan Wan Kota serta ICT Center dilakukan dalam bentuk program SchoolNet Wireless.

Secara umum, program ini memanfaatkan infrastruktur yang telah ada di kabupaten kota dari program ICT Center, berupa perangkat Wireless 2,4 GHz.

Program ini amat sesuai dikembangkan di daerah rural yang memiliki topografi cenderung datar, karena dengan menggunakan perangkat Wireless yang ada, maka titik koneksi yang ada dapat meliputi area seluas 3-5 Km dari jarak pemancar. Apabila hendak memperluas koneksi, maka tinggal menambahkan Base Transceiver Station (BTS) yang akan menjembatani antara satu cell (cakupan pancaran) dengan cell yang lain.

Beberapa perangkat dibutuhkan untuk jenis koneksi ini, yaitu Access Point, Antena (baik grid, yagi, sektoral maupun omni yang disesuaikan dengan jarak antara pemancar dan penerima serta arah pancaran) maupun perangkat pendukung lainnya (Tower, PoE, pigtail, dan lain-lain). Sekolah dapat terhubung dengan jardiknas melalui wireless yang terpasang pada ICT Center atau Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Dengan teknologi ini, amat diharapkan daerah yang belum terjangkau dengan teknologi ADSL dapat terhubung dengan Jardiknas dan dapat menikmati layanan-layanan jardiknas.

Beberapa fasilitas yang dapat diperoleh dari program ini adalah:

1. Setiap sekolah akan terkoneksi ke Jardiknas menggunakan wireless dengan kecepatan 32/64 Kbps share.

2. Koneksi internet akan diberikan ke sekolah-sekolah tersebut melalui jalur Jardiknas secara unlimited (tanpa batas).

3. Dukungan teknis di tiap-tiap sekolah dilakukan oleh ICT Center

4. Dukungan teknis online akan dilakukan oleh tim dari Depdiknas.

5. Karena terhubung langsung dengan Jardiknas, maka sekolah dapat menggunakan seluruh fasilitas Jardiknas dengan lebih cepat.

Persyaratan utama agar sekolah dapat terhubung ke Jardiknas melalui jenis koneksi ini adalah:

1. berada pada area layanan wireless dari ICT Center atau Dinan Pendidikan;

2. menyediakan perangkat wireless (Access Point, Antena, kabel jaringan);

3. menyediakan tower dengan tinggi yang disesuaikan dengan kondisi geografis (opsional)

4. memiliki laboratorium komputer;

5. memiliki NPSN yang terpublish pada web site

http://npsn.jardiknas.org;

6. memiliki NISN yang terpublish pada web site

http://nisn.jardiknas.org;

7. memiliki NUPTK yang terpublish pada web site

http://nign.jardiknas.org;

8. memiliki tenaga teknisi jardiknas dari program 2006 atau akan menyediakan tenaga teknisi jardiknas untuk tahun 2007.

Adapun data teknis untuk program ini adalah:

Total Node (rencana) : 4000 Sekolah

Kapasitas per-node : 32 – 64 Kbps

Media Koneksi : Wireless

Posisi NOC : Gedung C Lt. 7

Jalur Internet : 50 Mbps/100 Mbps

Alokasi IP : Privat IP


Gambar 2.4 – SchoolNet Wireless


3.3 SchoolNet Wimax


Salah satu ciri utama teknologi adalah selalu berkembang dan berubah seiring dengan pergeseran waktu dan jaman. Teknologi Wireless yang bekerja pada rentang frekwensi 2,4 GHz memiliki beberapa keterbatasan, diantaranya adalah jarak pancar yang relatif dekat dan keharusan LOS (Line of Sight).

Frekwensi 2,4 GHz menggunakan standard IEEE 802.11 yang disebut juga dengan Wi-Fi. Untuk menghadapi kendala tersebut, maka dikembangkanlah teknologi Wimax (Worldwide Interoperability for Microwave Access) yang dikembangkan pada bulan Juni tahun 2001 menggunakan standar IEEE 802.16.

Standar WiMax pada awalnya dirancang untuk rentang frekuensi 10 s.d. 66 GHz. 802.16a, diperbaharui pada 2004 menjadi 802.16-2004 (dikenal juga dengan 802.16d) menambahkan rentang frekuensi 2 s.d. 11 GHz dalam spesifikasi. 802.16d dikenal juga dengan fixed WiMax, diperbaharui lagi menjadi 802.16e pada tahun 2005 (yang dikenal dengan mobile WiMax) dan menggunakan orthogonal frequency-division multiplexing (OFDM) yang lebih memiliki skalabilitas dibandingkan dengan standar 802.16d yang menggunakan OFDM 256 sub-carriers. Penggunaan OFDM yang baru ini memberikan keuntungan dalam hal cakupang, instalasi, konsumsi daya, penggunaan frekuensi dan efisiensi pita frekuensi. WiMax yang menggunakan standar 802.16e memiliki kemampuan hand over atau hand off, sebagaimana layaknya pada komunikasi selular. Dengan menggunakan WiMax, maka hanya dibutuhkan sebuah BTS dengan rentang jarak 30-50 Km, yang berarti untuk sebuah kota atau kabupaten hanya dibutuhkan 1 BTS untuk menjangkau seluruh sekolah di wilayah tersebut. Kecepatan transfer data juga dapat dilakukan secara teoritis dengan kecepatan 70 MBps, jauh diatas kecepatan Wi-Fi yang “hanya” 11-54 MBps.

Untuk Indonesia, saat ini frekwensi WiMax masih menunggu proses tender frekwensi yang dilaksanakan oleh pemerintah. Oleh sebab itu, SchoolNet Wimax untuk tahun 2007 masih dilaksanakan dalam bentuk riset.

Semoga di masa akan datang, teknologi ini akan cukup mudah dan murah diimplementasikan di dalam Jardiknas, sehingga impian menghubungkan seluruh

sekolah di Republik Indonesia, baik untuk rural maupun urban area dapat terpenuhi.


4. Zona Guru dan Siswa


Pengembangan Jardiknas tidak hanya berhenti pada institusi, tetapi juga diteruskan kepada aspek manusia yang bersentuhan langsung dengan pendidikan, yaitu guru dan siswa.

Masih sering terdengar dalam berbagai berita dan media informasi lainnya, yang menyebutkan bahwa biaya internet Indonesia termasuk yang termahal di dunia, juga alangkah sulitnya untuk memperoleh koneksi tersebut. Jadi sudah mahal, sulit pula diperoleh. Salah satu zona yang dikembangkan dalam program Jardiknas adalah Zona Guru dan Siswa yang disebut juga TeacherNet dan StudentNet. Zona ini diharapkan dapat menghubungkan setiap guru dan siswa dengan jardiknas di rumah masing-masing sehingga proses pembelajaran berbasis IT dapat dilaksanakan mulai dari sekolah hingga ke rumah. Teknologi yang akan dikembangkan untuk zona guru dan siswa ini adalah perpaduan dari Wireless, ADSL, 3G, GPRS, CDMA maupun Dialup, yang disesuaikan dengan kondisi geografis dan teknologi yang ada di masing-masing kabupaten/kota.

Sampai saat ini proses koordinasi untuk program guru dan siswa masih berlangsung, dan diharapkan sudah dapat dinikmati di beberapa

kabupaten/kota pada tahun 2007 ini.


Fasilitas dan Layanan Jardiknas


Selain sistem jaringan pada jejaring pendidikan nasional, yang kini dikembangkan oleh Departemen Pendidikan Nasional, Depdiknas juga memberikan beberapa fasilitas dan layanan kepada pengguna dari jejaring tersebut, yaitu:

a. memberikan layanan telepon via intranet secata gratis (Free Intranet Telephone Pendidikan dengan menggunakan sistem VOIP-Edu),

b. menyedikan layanan konferensi dengan menggunakan video (Video Conference System),.

c. membuat dan memfasilitasi Data Center dan Colocation Server,

d. memberikan layanan akses internet (sampai pada minimal 50 Mbps Internasional & 100 Mbps IIX),

e. memberikan Web hosting untuk sekolah-sekolah

(sampai pada kapasitas 200 Mb Space),

f. menyediakan layanan Email untuk pegawai dalam lingkup dinas pendidikan (sampai pada kapasitas 1 GB Mailbox untuk setiap pengguna – user@diknas.go.id),

g. memfasilitasi adanya Call Center & Helpdesk Service, dan

h. menyediakan dukungan teknis (Technical Support Online).

Pada proses implementasi dan pembangunan dari JARDIKNAS ini juga tidak lepas dari munculnya kendala- kendala yang harus dihadapi. Kendala ini antara lain adalah:

a. masalah tersedianya orang yang mengoperasikan (SDM);

b. masalah tersedianya dana;

c. masalah koordinasi dan kerja sama yang harus ditingkatkan;

d. masalah sistem keamanan jaringan, dan

e. masalah kesinambungan tata kelola sistem jaringan di setiap lokasi.

Terlepas dari adanya kendala-kendala yang ada, program JARDIKNAS ini dirasa sangat menguntungkan.

Program ini hampir sama dengan program ‘SEARCA University Consortium Network’ yang menghubungkan beberapa perguruan tinggi di Asia, Eropa dan Kanada.

Program JARDIKNAS juga mirip sama dengan programnya SEAMEO yang dinamakan Connecting Asian Europe e-Learning (CAE-e-LEARN). A collaborative research with Universitat Oberta de Catalunya-Spain, ICDE-Spain, SEAMES-Thailand, VOCHTEC-Brunei-Darussalam, Fern Universitaet in Hagen Germany, PUEMLR-France, and Tilburg University-the Netherlands.

Pembangunan jejaring pendidikan nasional beserta fasilitas dan layanan yang dikembangkan seperti apa yang dijelaskan di atas adalah kegiatan yang teramat penting untuk tujuan melaksanakan pembangunan pendidikan yang efektif (do the right thing) dan efisien (do the thing right).


Disarikan dari Pedoman Jardiknas 2007 :

Dr. Ir. Gatot Hari Priowirjanto

Bondan S. Prakoso, ST

Khalid Mustafa, ST

Dan Tim ICT-BPKLN-DEPDIKNAS

Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri

Departemen Pendidikan Nasional Jakarta

Read More (Lihat lebih Detail)......

OH .... DANAU BUYAN


NASIB DANAU BUYAN

Sedikitnya 12 sumber mata air muncul secara tiba-tiba di sekitar Danau Buyan, Kabupaten Buleleng, salah satu dari empat danau di Bali yang berlokasi sekitar 55 km utara Denpasar. Danau Buyan yang berlokasi di daerah berhawa sejuk dengan luas sekitar 4,93 km2 selama ini dipercaya sebagai gentong (jeding), yang airnya mengalir dalam tanah yang kemudian muncul menjadi mata air untuk pengairan irigasi di wilayah Kabupaten Buleleng maupun Kabupaten Tabanan. (Sinar Harapan 19 April 2008)

Ironis, suatu yang dibanggakan, suatu yang disyukuri bahkan pemerintahpun mensyukuri munculnya 12 sumber mata air, masyarakat bahkan menyelenggarakan upacara untuk mensyukuri ini.
Tapi ....
Bak sisi mata uang, sisi yang satu menampakkan humanisme dan seakan peduli lingkungan, sisi yang lain berwajah menyeramkan sebagai setan kapitalis.



Lihat tulisan di suatu harian :

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Bali Made Sulendra di Denpasar, Sabtu (19/4) mengatakan, munculnya 12 sumber mata air di sekitar Danau Buyan merupakan rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa terhadap kehidupan umat manusia. Kesadaran masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan, khususnya di sekitar Danau Buyan mempunyai kaitan yang erat dengan munculnya sumber mata air.
Pemprov Bali dalam tahun 2007 menanam tidak kurang dari tujuh juta pepohonan di berbagai tempat di delapan kabupaten dan satu kota di Bali termasuk di sekitar Danau Buyan.
Penghijauan di sekitar Danau Buyan kembali akan ditingkatkan dalam tahun 2008 dan tahun-tahun berikutnya dengan merangkul masyarakat sekitarnya. Semua itu diharapkan mampu menjaga kelangsungan dan kesinambungan sumber-sumber mata air, harap Sulendra.
Atas munculnya 12 sumber mata air baru, masyarakat setempat menggelar upacara ritual yang disebut “Pemendak tirta” yang rencananya dilakukan Minggu (20/4) dengan melibatkan masyarakat di sekitar Danau Buyan. Selain itu, pada sumber mata air baru itu dibuatkan sebuah bangunan suci “Pelinggih” dan dibuatkan saluran untuk menyalurkan air ke kolam suci (sowan) sebelum dialirkan ke Danau Buyan.
Pemprov Bali bekerja sama dengan Pemkab Buleleng dalam beberapa tahun terakhir melakukan penataan lingkungan terhadap kawasan Danau Buyan, sebagai upaya memikat wisatawan berkunjung ke belahan Bali utara. Penataan objek wisata alam yang sangat digandrungi wisatawan mancanegara yang tertarik terhadap keindahan alam dan hutan lestari itu, mempunyai fungsi ganda yakni menyelamatkan danau yang sempat mengalami penyempitan dan pendangkalan akibat tumbuh suburnya enceng gondok.
Penataan Danau Buyan secara fisik itu antara lain menghilangkan enceng gondok dan pengerukan tanah endapan dengan menggunakan alat berat, sehingga danau mampu menampung air lebih banyak. Danau Buyan yang mempunyai peranan dan arti penting dalam memenuhi kebutuhan air minum maupun irigasi pertanian bagi kehidupan masyarakat Bali, khususnya Kabupaten Buleleng dan Tabanan perlu dijaga kelestariannya.
Pemerintah Kabupaten Buleleng juga telah melakukan penataan tata ruang terhadap kawasan Danau Buyan dan Danau Tamblingan yang lokasinya saling berdekatan untuk dikembangkan menjadi objek wisata alam. (ant)




Villa bermunculan bahkan yang cukup besar

LIHAT LIHAT berita apa itu?
Lihat lihat apa kenyataannya? villa-villa bermunculan menggerogoti tepian danau, bahkan sekarang (mei 2008) sedang berlangsung pembangunan bangunan kapitalis yang sungguh besar dan menggeroti lingkungan tepi selatan danau Buyan.
Padahal katanya danau Buyan "Jeding"nya irigasi di Tabanan dan Buleleng padahal sekitar kawasan danau Buyan dan Tamblingan berdiri puluhan pura-pura penting yang disungsung masyarakat sekitar
Pura Gubug
Pura Penimbangan
Pura Sanghyang Kauh
Pura Dalem Tamblingan
Pura Ulun Danu Tamblingan
Pura Embang
Pura Endek
Pura Tirta Mengening
Pura Pekemitan Kangin
Pura Pekemitan Kauh
Pura Pengukiran
Pura Gunung Raung
Pura Goa Naga Loka
Pura Tajun
Pura Guna Anyar
Pura Ulun Danu Buyan
Pura Pucak Sari
Pura Telaga Aya
Pura Penguskusan
Pura Batu Madeg
Pura Telaga Dekit
Pura Yeh Ketipat
Pura Pucak Mangu
Pura Pucak Sangkur



Lalu apa artinya?
Bali menuju jurang kehancuran, bukan hanya lingkungan tapi juga budaya....
Aduh suud sombong dadi jelema Bali, Ayo perbaiki dari sekarang.

Read More (Lihat lebih Detail)......

Sunday, May 4, 2008

ROBERT GAGNE and The Conditions of Learning

ROBERT GAGNE 1916-2002
"Learning is something that takes place insidea person's head- in the brain"


Robert Gagne lahir tahun 1916 di North Andover, MA. Beliau mendapatkan gelar A.B. pada Yale tahun 1937 dan pada tahun 1940 mendapat gelar Ph.D. dalam Psychology dari Universitas Brown. Mengajar pada Connecticut College for Women dari 1940-49 dan kemudian pada Penn State University dari 1945-1946. Antara 1949-1958, Gagne menjadi direktur “perceptual and motor skills laborartory” dari U.S. Air force. Pada saat itu dia mulai mengembangkan beberapa idenya yaitu teori belajar yang disebut


"The Conditions of Learning".

Pada 25 tahun terakhir beliau adalah professor pada Department of Education Research at Florida State University di Tallahassee.

Gagne melihat proses belajar mengajar dibagi menjadi beberapa komponen penting yaitu :
1. Fase – fase pembelajaran
2. Kategori utama kapabilitas/kemampuan manusia/outcomes
3. Kondisi atau tipe pembelajaran
4. Kejadian-kejadian instruksional

Robert Gagne seorang ahli psikologi pendidikan mengembangkan teori belajar yang mencapai kulminasinya pada “The Condition of Learning”. Banyak gagasan Gagne tentang teori belajar, seperti belajar konsep dan model pemrosesan informasi, pada bukunya “The Condition of Learning” Gagne membahas tentang fase-fase dalam belajar, kapabilitas manusia yang dihasilkan setelah belajar (outcomes), kondisi atau tipe pembelajaran (the eight conditions learning) dan kejadian-kejadian belajar (nine intructional events), serta hubungan kejadian-kejadian tersebut.

A. Fase-fase dalam belajar

Gagne membagi proses belajar berlangsung dalam empat fase utama, yaitu: (1) receiving the stimulus situation (apprehending), (2) stage of acquisition, (3) storage, (4) retrieval.
1. Fase Receiving the stimulus situation (apprehending), merupakan fase seseorang memperhatikan stimulus tertentu kemudian menangkap artinya dan memahami stimulus tersebut untuk kemudian ditafsirkan sendiri dengan berbagai cara. Misalnya “golden eye” bisa ditafsirkan sebagai jembatan di amerika atau sebuah judul film. Stimulus itu dapat spontan diterima atau seorang Guru dapat memberikan stimulus agar siswa memperhatikan apa yang akan diucapkan.
2. Fase Stage of Acquition, pada fase ini seseorang akan dapat memperoleh suatu kesanggupan yang belum diperoleh sebelumnya dengan menghubung-hubungkan informasi yang diterima dengan pengetahuan sebelumnya. Atau boleh dikatakan pada fase ini siswa membentuk asosiasi-asosiasi antara informasi baru dan informasi lama.
3. Fase storage /retensi adalah fase penyimpanan informasi, ada informasi yang disimpan dalam jangka pendek ada yang dalam jangka panjang, melalui pengulangan informasi dalam memori jangka pendek dapat dipindahkan ke memori jangka panjang.
4. Fase Retrieval/Recall, adalah fase mengingat kembali atau memanggil kembali informasi yang ada dalam memori. Kadang-kadang dapat saja informasi itu hilang dalam memori atau kehilangan hubungan dengan memori jangka panjang. Untuk lebih daya ingat maka perlu informasi yang baru dan yang lama disusun secara terorganisasi, diatur dengan baik atas pengelompokan-pengelompokan menjadi katagori, konsep sehingga lebih mudah dipanggil.
Kemudian ada fase-fase lain yang dianggap tidak utama, yaitu (5) fase motivasi sebelum pelajaran dimulai guru memberikan motivasi kepada siswa untuk belajar, (6) fase generalisasi adalah fase transfer informasi, pada situasi-situasi baru, agar lebih meningkatkan daya ingat, siswa dapat diminta mengaplikasikan sesuatu dengan informasi baru tersebut. (7) Fase penampilan adalah fase dimana siswa harus memperlihatkan sesuatu penampilan yang nampak setelah mempelajari sesuatu, seperti mempelajari struktur kalimat dalam bahasa mereka dapat membuat kalimat yang benar, dan (8) fase umpan balik, siswa harus diberikan umpan balik dari apa yang telah ditampilkan (reinforcement).

B. Kategori utama kapabilitas/kemampuan manusia/outcomes

Setelah selesai belajar, penampilan yang dapat diamati sebagai hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan (capabilities). Kemampuan-kemampuan tersebut dibedakan berdasarkan atas kondisi mencapai kemampuan tersebut berbeda-beda. Ada lima kemampuan (kapabilitas) sebagai hasil belajar yang diberikan Gagne yaitu :
1. Verbal Information (informasi verbal), adalah kemampuan siswa untuk memiliki keterampilan mengingat informasi verbal, ini dapat dicontohkan kemampuan siswa mengetahui benda-benda, huruf alphabet dan yang lainnya yang bersifat verbal.
2. Intellectual skills (keterampilan intelektual), merupakan penampilan yang ditunjukkan siswa tentang operasi-operasi intelektual yang dapat dilakukannya. Keterampilan intelektual memungkinkan seseorang berinteraksi dengan lingkungannya melalui pengunaan simbol-simbol atau gagasan-gagasan. Yang membedakan keterampilan intelektual pada bidang tertentu adalah terletak pada tingkat kompleksitasnya.
Untuk memecahkan masalah siswa memerlukan aturan-aturan tingkat tinggi yaitu aturan-aturan yang kompleks yang berisi aturan-aturan dan konsep terdefinisi, untuk memperloleh aturan – aturan ini siswa sudah harus belajar beberapa konsep konkret, dan untuk belajar konsep konkret ini siswa harus menguasai diskriminasi-diskriminasi.


3. Cognitive strategies (strategi kognitif), merupakan sustu macam keterampilan intelektual khusus yang mempunyai kepentingan tertentu bagi belajar dan berpikir. Proses kontrol yang digunakan siswa untuk memilih dan mengubah cara-cara memberikan perhatian, belajar, mengingat dan berpikir. Beberapa strategi kognitif adalah : (1) strategi menghafal, (2) strategi elaborasi, (3) strategi pengaturan, (4) strategi metakognitif, (5) strategi afektif.
4. Attitudes (sikap-sikap) merupakan pembawaan yang dapat dipelajari dan dapat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap benda, kejadian atau mahluk hidup lainnya. Sekelompok sikap yang penting ialah sikap-sikap kita terhadap orang lain. Bagaimana sikap-sikap sosial itu diperoleh setelah mendapat pembelajaran itu yang menjadi hal penting dalam menerapkan metode dan materi pembelajaran.
5. Motor skills (keterampilan motorik) merupakan keterampilan kegiatan fisik dan penggabungan kegiatan motorik dengan intelektual sebagai hasil belajar. Keterampilan motorik bukan hanya mencakup kegiatan fisik saja tapi juga kegiatan motorik dengan intelektual seperti membaca, menulis, dllnya

C. Kondisi atau tipe pembelajaran


1. Signal learning (belajar isyarat)
Belajar isyarat merupakan proses belajar melalui pengalaman-pengalaman menerima suatu isyarat tertentu untuk melakukan tindakan tertentu. Misalnya ada “Aba-aba siap” merupakan isyarat untuk mengambil sikap tertentu, tersenyum merupakan isyarat perasaan senang.
2. Stimulus-response learning (belajar melalui stimulus-respon)
Belajar stimulus-respon (S-R), merupakan belajar atau respon tertentu yang diakibatkan oleh suatu stimulus tertentu. Melalui pengalaman yang berulang-ulang dengan stimulus tertentu sesorang akan memberikan respon yang cepat sebagai akibat stimulus tersebut.
3. Chaining (rantai atau rangkaian)
Chaining atau rangkaian, terbentuk dari hubungan beberapa S-R, oleh sebab yang satu terjadi segera setelah yang satu lagi. Misalnya : Pulang kantor, ganti baju, makan, istirahat.
4. Verbal association (asosiasi verbal)
Mengenal suatu bentuk-bentuk tertentu dan menghubungkan bentuk-bentuk rangkaian verbal tertentu. Misalnya : seseorang mengenal bentuk geometris, bujur sangkar, jajaran genjang, bola dlsbnya. Lalu merangkai itu menajdi suatu pengetahuan geometris, sehingga seseorang dapat mengenal bola yang bulat, kotak yang bujur sangkar.
5. Discrimination learning (belajar diskriminasi)
Belajar diskriminasi adalah dapat membedakan sesuatu dengan sesuatu yang lainnya, dapat membedakan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya walaupun bentuk manusia hampir sama, dapat membedakan merk sepedamotor satu dengan yang lainnya walaupun bentuknya sama. Kemampuan diskriminasi ini tidak terlepas dari jaringan, kadang-kadang jika jaringan yang terlalu besar dapat mengakibatkan interferensi atau tidak mampu membedakan.
6. Concept learning (belajar konsep)
Belajar konsep mungkin karena kesanggupan manusia untuk mengadakan representasi internal tentang dunia sekitarnya dengan menggunakan bahasa. Mungkin juga binatang bisa melakukan tetapi sangat terbatas, manusia dapat melakukan tanpa terbatas berkat bahasa dan kemampuan mengabstraksi. Dengan menguasai konsep ia dapat menggolongkan dunia sekitarnya menurut konsep itu misalnya : warna, bentuk, jumlah dllnya
7. Rule learning (belajar aturan)
Belajar model ini banyak diterapkan di sekolah, banyak aturan yang perlu diketahui oleh setiap orang yang telah mengenyam pendidikan. Misalnya : angin berembus dari tekanan tinggi ke tekanan rendah, 1 + 1 = 2 dan lainnya. Suatu aturan dapat diberikan contoh-contoh yang konkrit.
8. Problem solving. (memecahkan masalah)
Memecahkan masalah merupakan suatu pekerjaan yang biasa yang dilakukan manusia. Setiap hari dia melakukan problem solving bayak sekali. Untuk memecahkan masalah dia harus memiliki aturan-aturan atau pengetahuan dan pengalaman, melalui pengetahuan aturan-aturan inilah dia dapat melakukan keputusan untuk memecahkan suatu persoalan. Seseorang harus memiliki konsep-konsep, aturan-aturan dan memiliki “sets” untuk memecahkannya dan suatu strategi untuk memberikan arah kepada pemikirannya agar ia produktif.


D. Kejadian-kejadian instruksional

Apakah yang terjadi dalam mengajar? Mengajar dapat kita pandang sebagai usaha mengontrol kondisi ekstern. Kondisi ekstern merupakan satu bagian dari proses belajar, namun termasuk tugas guru yang utama dalam mengajar.
Mengajar terdiri dari sejumlah kejadian-kejadian tertentu yang menurut Gagne terkenal dengan “Nine instructional events” yang dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Gain attention (memelihara perhatian)
Dengan stimulus ekster kita berusaha membangkitkan perhatian dan motivasi siswa untuk belajar.
2. Inform learners of objectives (penjelasan tujuan pembelajaran)
Menjelaskan kepada murid tujuan dan hasil apa yang diharapkan setelah belajar. Ini dilakukan dengan komunikasi verbal.
3. Stimulate recall of prior learning
(merangsang murid)
Merangsang murid untuk mengingat kembali konsep, aturan dan keterampilan yang merupakan prasyarat agar memahami pelajaran yang akan diberikan.
4. Present the content (menyajikan stimuli)
Menyajikan stimuli yang berkenaan dengan bahan pelajaran sehingga murid menjadi lebih siap menerima pelajaran.
5. Provide "learning guidance" (memberikan bimbingan)
Memberikan bimbingan kepada murid dalam proses belajar
6. Elicit performance /practice (pemantapan apa yang dipelajari)
Memantapkan apa yang dipelajari dengan memberikan latihan-latihan untuk menerapkan apa yang telah dipelajari itu.
7. Provide feedback (memberikan feedback)
Memberikan feedback atau balikan dengan memberitahukan kepada murid apakah hasil belajarnya benar atau tidak.
8. Assess performance (menilai hasil belajar)
Menilai hasil-belajar dengan memberikan kesempatan kepada murid untuk mengetahui apakah ia telah benar menguasai bahan pelajaran itu dengan memberikan beberapa soal.
9. Enhance retention and transfer to the job (mengusahakan transfer)
Mengusahakan transfer dengan memberikan contoh-contoh tambahan untuk menggeneralisasi apa yang telah dipelajari itu sehingga ia dapat menggunakannya dalam situasi-situasi lain
Dalam mengajar hal di atas dapat terjadi sebagian atau semuanya, Proses belajar sendiri terjadi antara peristiwa nomor 5 dan 6. Peristiwa-peristiwa itu digerakkan dan diatur dengan perantaraan komunikasi verbal yakni guru mengatakan kepada murid apa yang harus dilakukannya


DAFTAR PUSTAKA

Nasution, S., Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, Bumi Aksara, Jakarta, 2003.
Dahar, Ratna Wilis, Teori – Teori Belajar, Erlangga, Jakarta, 1989.
Maschke Kathy L., Gagne : The Condition of Learning, www.nc.gsu/~mstswh/course/it7000/papers/robert.htm.
……..,www.sru.edu/depts./education/psycholo/panaud/gagne.htm
……..,www.nova.edu/~cozart/learningtheories.htm

Read More (Lihat lebih Detail)......

PROBLEM SOSIAL DAN TRI PUSAT PENDIDIKAN

PENYELESAIAN PROBLEM SOSIAL
MELALUI OPTIMALISASI FUNGSI TRI PUSAT PENDIDIKAN

(sebuah paper yang idenya tercetus ketika banyak melihat problem sosial di kampung-kampung miskin di perkotaan)

Oleh :
Made Wiryana

I. PENDAHULUAN
Problem sosial seperi premanisme, pejudian dan minuman keras akhir-akhir ini semakin menampakkan kecenderungan meningkat. Tidak perlu beranjak jauh untuk melihat hal itu, disetiap ujung jalan, kampung dan kelurahan pemandangan menyesakkan seperti itu terlampau sering dijumpai. Siapakah yang harus memperbaiki hal seperti ini, apakah akan dibiarkan selamanya seperti itu? Sudah adakah usaha pemerintah atau masyarakat untuk menyelesaikan problem sosial tersebut? Sangat sedikit sensitifitas sosial yang muncul untuk menperhatikan premanisme, perjudian dan minuman keras, yang terjadi adalah membiarkan hal seperti itu terjadi. Masyarakat seakan mensyahkan hal tersebut, tidak ambil perduli bahkan jarang terlihat orang tua menasehati anaknya yang terjerumus dalam problem tersebut bahkan mungkin orang tua pun ikut-ikutan terjerumus.
Jika kita berjalan-jalan ke beberapa kampung di dalam kota, kita merasakan realitas yang terjadi di masyarakat bawah. Banyak sekali dapat dilihat kejadian yang menunjukkan masyarakat kita sedang sakit dan menghadapi problem sosial. Minuman keras dan perjudian sudah hampir setiap hari mereka nikmati, premanisme muncul di sudut-sudut pasar bahkan sering terlihat langsung tanpa sembunyi-sembunyi, tak ada usaha apapun untuk menghentikannya dan masyarakat semakin tidak peduli.
Premanisme, perjudian dan minuman keras adalah problem sosial yang akan menjadikan anak-anak bangsa kita mengalami kesuraman, hal inilah mendasari mengapa problem tersebut harus segera dicarikan penyelesaiannya. Problem sosial ini sangat rentan sekali menimbulkan tindak kriminalitas yang mengancam keselamatan pihak lain, begitu juga dari segi kesehatan dan masa depan anak-anak, sulit membiarkan ini terjadi.
Adanya premanisme, perjudian dan minuman keras yang menggejala di kalangan masyarakat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : (1) tingkat pendidikan masyarakat yang kurang, (2) faktor ekonomi yang mengakibatkan kemiskinan dan (3) permasalahan penegakan hukum oleh aparat. Berdasarkan hal tersebut, dalam konteks ini akan dicoba dipaparkan penyelesaian problem sosial tersebut dari sudut pandang pendidikan.

Problem Sosial pada beberapa daerah
Premanisme, perjudian dan minuman keras yang muncul karena rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, kemiskinan dan kurangnya penegakan hukum.. Dari pengamatan penulis rendahnya tingkat pendidikan ini dimulai dari tingkat pendidikan orang tua sehingga menyebabkan :
1. Kesadaran akan pendidikan anak kurang
2. Tidak berfungsinya pendidikan keluarga
Faktor ekonomi (kemiskinan) karena kesulitan pekerjaan atau penghasilan rendah yang dialami masyarakat tertentu akan menyebabkan :
1. Kemampuan menyekolahkan anak berkurang
2. Pencarian jalan pintas untuk mencapai kesejahteraan memunculkan premanisme dan perjudian.
3. Pengangguran mendekatkan mereka pada minuman keras.
Problem di atas bertambah luas dan rumit juga diakibatkan penegakan hukum yang sangat lemah oleh aparat keamanan.

II. OPTIMALISASI FUNGSI TRI PUSAT PENDIDIKAN

Penyelenggaraan pendidikan adalah menjadi tanggungjawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah, karena itu pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat (Guruvalah 2003 :1). Pendidikan kita terdiri atas tiga bagian. Pertama, pendidikan informal (keluarga), formal (sekolah) dan nonformal (masyarakat). Sasaran yang ingin dicapai dari pendidikan kita adalah pembentukan aspek kognitif (intelektual), afektif (sikap mental atau moral) dan psikomotorik (skill/keterampilan). Idealnya, pembentukan aspek kognitif menjadi tugas dan tanggung jawab para pendidik (guru) di sekolah, pembentukan aspek efektif menjadi tugas dan tanggung jawab orangtua dan pembentukan aspek psikomotorik menjadi tugas dan tanggung jawab masyarakat (lembaga-lembaga kursus, dan sejenisnya).
Dengan adanya pembagian tugas seperti ini, masalah pendidikan sebenarnya menjadi tanggung jawab semua pihak: orangtua, pendidik (guru) dan masyarakat. Pendidikan moral seperti agama, budi pekerti, etika, dan sejenisnya, menjadi tugas dan tanggung jawab orangtua. Pendidikan keterampilan seperti kursus komputer, bahasa asing, menjahit, dan sebagainya, menjadi tugas dan tanggung jawab masyarakat (lembaga-lembaga kursus). Sedangkan pendidikan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) menjadi tugas dan tanggung jawab para pendidik (guru) di sekolah.
Tapi karena tidak setiap keluarga mampu memberikan pendidikan yang dimaksud dalam keluarga, maka sekolah sering merasa perlu untuk memberikan tanggungjawabnya untuk mengembangkan seluruh kemampuan siswa, sehingga sekolah sering memberikan muatan-muatan yang dapat bermanfaat bagi siswa (bukan kognitif saja).
Pada umumnya sekolah sebagai lembaga pendidikan dan merupakan pusat kegiatan belajar mengajar dijadikan tumpuan dan harapan orang tua, keluarga, masyarakat, bahkan pemerintah. Karena itu, sekolah senantiasa memberikan pelayanan pendidikan, pengajaran, dan pelatihan yang bersifat ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), keterampilan, dan pembentukan sikap mental yang baik bagi peserta didiknya (IMTAQ).
Karena sekolah diberi tumpuan sedemikian besar, maka berimplikasi juga pada kemampuan masyarakat untuk dapat melanjutkan sekolah, akhirnya banyak masyarakat tidak mendapatkan pendidikan yang layak.
Di lain pihak usaha Pemerintah untuk mengembangkan pendidikan luar sekolah terlihat setengah hati, ini terlihat dari kecilnya proporsi biaya dan kegiatan untuk pendidikan luar sekolah dibandingkan pendidikan formal. Sehingga tidak heran bila kita melihat pengangguran dan problem sosial semakin banyak terjadi di negara kita padahal kalau kita lihat, jumlah sekolah saat ini lebih banyak dibandingkan pada masa-masa yang lampau.
Melihat keadaan seperti itu selain disebabkan oleh faktor ekonomi dan penegakan hukum, problem sosial yang terjadi di beberapa daerah, desa atau kampung disebabkan oleh faktor pendidikan. Jika ditengok ke belakang bahwa pendidikan kita mempunyai pilar yang disebut tri pusat pendidikan, maka terlihat tiga pilar pendidikan kita berjalan tidak optimal. Ketidakoptimalan ini terjadi karena pendidikan formal, pendidikan keluarga dan pendidikan masyarakat berjalan tidak terpadu, bahkan terjadi dikotomi, kadang terjadi saling menyalahkan antara keluarga dan sekolah atau masyarakat tentang penyebab suatu permasalahan yang diakibatkan oleh pendidikan, seperti tanggungjawab pendidikan moral atau agama. Untuk menyelesaikan problem sosial di beberapa daerah, perlu mengoptimalkan tri pusat pendidikan tersebut dengan langkah-langkah sebagai berikut.
1. Pemerataan Pendidikan formal
2. Muatan nilai pada pendidikan formal
3. Memperbanyak peran pendidikan luar sekolah.

2.1 Pemerataan Pendidikan Formal
Walaupun pendidikan formal untuk masyarakat kita dapat dikatakan merata, tapi perlu ditinjau kembali sejauh mana bisa memberikan kontribusi untuk menyelesaikan problem sosial di atas. Khusus untuk desa atau kampung yang mempunyai problem sosial yang tinggi, perlu dilakukan terobosan oleh pemerintah dengan membebaskan pembayaran BP3 pada siswa-siswa yang berasal dari tempat tersebut. Walaupun harus diakui BP3 memberikan kontribusi yang besar pada pelaksanaan pendidikan di sekolah dan peningkatan pendidikan, tetapi pada akhir-akhir ini banyak terjadi ketidakadilan dalam kontribusi BP3 ini, karena terjadi kesewenang-wenangan dalam hal jumlah iuran BP3. Hal ini terlihat banyak sekolah negeri iuaran BP3nya lebih besar dibandingkan bebeberapa sekolah swasta, padahal sekolah negeri sudah menerima subsidi dari pemerintah.
Pemerintah perlu memberi subsidi yang nyata pada daerah-daerah yang banyak mengalami problem sosial, sehingga peningkatan pendidikan pada anak-anak akan merubah sikap mental mereka di kemudian hari. Dalam konteks otonomi daerah, Pemerintah Daerah dapat menggunakan kebijakan daerah untuk memperhatikan daerahnya dan memberikan subsidi yang nyata bagi daerah atau desa/kampung yang mengalami masalah sosial. Pemerintah Daerah Jemberana misalnya, mengambil langkah yang spektakuler dengan membebaskan siswa di kabupaten tersebut dari pembayaran SPP/BP3.

2.2 Muatan Nilai pada Pendidikan Formal
Muatan nilai pada pendidikan formal sudah sangat sering didengar, bahkan sering menjadi polemik apakah menjadi mata pelajatran tersendiri atau diintegrasikan pada mata pelajaran yang lainnya. Dengan konsep Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sebenarnya sangat memungkinkan memasukkan muatan nilai pada mata pelajaran yang sudah ada.
Pada dasarnya pendidikan bertugas mempersiapkan anak untuk menghadapi hari esok. Dengan demikian pendidikan seyogyanya sesuai dengan kebutuhan anak kelak manakala mereka terjun ke masyarakat. Pendidikan berkewajiban menanamkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dibutuhkan individu dalam mengarungi kehidupannya di masyarakat. Sehingga pendidikan bidang-bidang studi turut pula bertanggung jawab dalam mengembangkan kemampuan itu, (Harry Firman, 2004:3)
Sering terjadi dikotomi atau saling menyalahkan tentang pendidikan nilai, apakah diberikan di sekolah atau di keluarga/masyarakat. Pihak sekolah menganggap pendidikan nilai ada di keluarga, karena sebagian besar waktu anak didik berada di rumah (bukan di sekolah), sedangkan pihak orang tua atau masyarakat memandang karena tugas sekolah juga mendidik aspek afektif dan psikomotorik ada pelajaran moral dan agama, maka kesalahan sering dilimpahkan ke sekolah. Sebenarya pendidikan nilai adalah tanggungjawab dari semuanya sebagai fungsi tri pusat pendidikan, sehingga tidak perlu terjadi dikotomi, semua pihak harus bersatu padu untuk memberikan pendidikan nilai pada anak atau siswa.
Pendidikan agama menjadi tumpuan yang terbesar untuk membentuk watak siswa sehingga memiliki kompetensi moral yang cukup untuk membentuk kepribadian yang baik, dengan demikian kegagalan dalam pendidikan keluarga (jika terjadi) dapat dikompensasi dengan pemberian muatan nilai pada pendidikan formal.

2.3. Memperbanyak peran pendidikan luar sekolah.
Pendidikan Luar Sekolah (PLS) sebenarnya pendidikan yang strategis untuk menyelesaikan problem sosial, tetapi Pemerintah justru tidak memberikan porsi yang cukup untuk berperan pada akhir-akhir ini.
Di era otonomi daerah, Pemerintah perlu lebih menggerakkan pendidikan non formal tersebut untuk dapat membantu menyelesaikan problem sosial tersebut. Pemda sebenarnya lebih mengetahui kondisi daerahnya dibanding pemerintah pusat sehingga memiliki kebijakan yang lebih tepat bagaimana menyelesaikan problem sosial yang dialami beberapa daerah.
Pendidikan non formal yang hanya bertumpu pada isu-isu yang sudah usang seperti kejar paket A, B atau penuntasan buta aksara perlu dikurangi tetapi perlu menambah atau meningkatkan kegiatan pada isu ; (1) peningkatan kualitas program pendidikan perempuan dan pendidikan orang tua, (2) perluasan pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan berkelanjutan melalui program pembinaan kursus, kelompok belajar usaha, magang, dan beasiswa pelatihan.
Program Pendidikan Perempuan, yakni program untuk memberikan serta meningkatkan pengetahuan, keterampilan serta sikap mental perempuan, sehingga mereka mampu melaksanakan fungsi keluarga dalam rangka terciptanya keluarga yang sehat dan sejahtera. Kegiatan-kegiatan dalam program pendidikan perempuan adalah: 1) Pendidikan Keterampilan Usaha Perempuan (PKUP), guna memberikan bekal kemampuan berusaha sehingga mereka memiliki sumber penghasilan yang tetap, 2) Pendidikan Orangtua, guna memberikan bekal kemampuan dalam melaksanakan fungsi keluarga; serta 3) Pemberdayaan Perempuan, guna memberdayakan perempuan sebagai mitra sejajar pria (gender).
Kualitas pendidikan perempuan dan orang tua pada daerah-daerah dengan problem sosial tinggi, akan memberikan dampak yang positif terhadap pendidikan keluarga. Kita mengetahui perempuan dapat menopang ekonomi keluarga, dan lebih banyak bertemu anggota keluarga dalam konteks pendidikan keluarga sehingga ini dapat membawa iklim positif bagi penyelesaian problem sosial
Program Pendidikan Berkelanjutan, terdiri dari: 1) program yang berorientasi pada pemberian bekal pengembangan diri dan profesionalisme melalui kursus yang sesuai dengan kebutuhan warga, seperti: jasa, bahasa, pertanian, kerumahtanggaan, kesehatan, teknik dan perambahan, olahraga kesenian, kerajinan dan industri, serta keterampilan khusus; 2) program yang berorientasi pada pemberian bekal untuk bekerja mencari nafkah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup melalui program Kejar Usaha, Magang, Beasiswa/Kursus; 3) program yang berorientasi pada bekal untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, yang dilaksanakan melalui program Paket C Setara SMU yang diintegrasikan dengan pendidikan keterampilan sehingga adanya peningkatan pengetahuan disertai dengan peningkatan kemampuan bermatapencaharian.
Peningkatan kualitas pendidikan berkelanjutan pada daerah-daerah bermasalah.akan memberikan dampak ekonomi yang bagus, sehingga lambat laun kemiskinan pada daerah bermasalah dapat dikurangi. Pemberian keterampilan akan memberikan ruang yang kondusif bagi penambahan penghasilan keluarga dan dengan adanya kegiatan usaha maka prilaku-prilaku buruk seperti perjudian, minuman keras dapat dikurangi.

IV. PENUTUP
Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa problem sosial seperti premanisme, perjudian dan minuman keras mengalami peningkatan di beberapa kampung, desa atau daerah, yang perlu dicarikan jalan untuk dapat diselesaikan oleh segenap komponen masyarakat.
Dengan semangat otonomi daerah, Pemerintah Daerah dapat lebih terbuka mengetahui permasalahan-permasalahan tersebut dan memberikan kebijakan-kebijakan yang mengarah bagi penyelesaian problem sosial melalui optimalisasi fungsi tri pusat pendidikan. Optimalisasikan fungsi tri pusat pendidikan melalui :
1. Pemerataan pendidikan formal melalui pemberian subsidi langsung kepada siswa dari daerah-daerah yang mengalami problem sosial
2. Muatan nilai pada pendidikan formal melalui pengitregasian muatan nilai ke mata pelajaran pokok
3. Memperbanyak peran pendidikan luar sekolah/nonformal pada daerah-daerah yang mengalami problem sosial dengan :
- peningkatan kualitas program pendidikan perempuan dan pendidikan orang tua,
- perluasan pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan berkelanjutan melalui program pembinaan kursus, kelompok belajar usaha, magang, dan beasiswa pelatihan.
Pemerintah Daerah selayaknya lebih memperhatikan problem sosial yang terjadi di beberapa daerah, desa, kampung dengan memberikan peningkatan kualitas pendidikan baik pendidikan formal maupun nonformal.
REFERENSI

Djumransjah, H.M.(2004). Pengantar Filsafat Pendidikan, Malang:Bayumedia
http://www.ristek.go.id/referensi/hukum/prop_bab5.htm, Membangun Kesejahteraan Rakyat dan Ketahanan Budaya
Westa Wayan K.S. Dilema Bali Disilang Dua Dunia, www.balipost.co.id
http://www.geocities.com/martapura2000/pls.htm. Rencana Trategis Tahun Pembangunan Bidang Pendidikan Luar Sekolah

Read More (Lihat lebih Detail)......

Meningkatkan Mutu Pendidikan


MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN DI INDONESIA
( Sebuah rangkuman dua tulisan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan)
Estu Retnaningtyas dalam tulisannya berjudul “Standarisasi Mutu Pendidikan” dan I Nengah Suparta yang berjudul “Orientasikan Proses Pendidikan pada Seleksi”, mengambil latar belakang yang sama yaitu sistem pelulusan siswa masih meninggalkan kerikil yang mengganjal insan pendidikan di Indonesia. Kedua penulis melihat standarisasi mutu lulusan masih dilaksanakan tidak konsisten oleh Pemerintah yang ditandai dengan adanya konversi nilai yang tidak adil dan pembobotan pada tiap daerah yang berbeda pada proses pelulusan siswa, sehingga menimbulkan ketidakadilan dan diskriminasi. Adanya inkonsistensi standar ini malah mengaburkan tujuan awal dari peningkatan mutu pendidikan.

Baik Estu dan Suparta memandang mutu pendidikan masih dilihat hanya dari persentase kelulusan saja, yang berarti masih dalam domain kognitif, padahal penilaian dengan melihat persentase kelulusan saja baru merupakan penilaian formalitas dan bukan pada realitas. Hal ini menyebabkan standar mutu pendidikan di Indonesia menjadi semacam kamuflase saja.
Estu dan Suparta pada bagian lain dari tulisannya berpandangan berlainan tentang peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Estu berpendapat, peningkatan kualitas output pendidikan nasional melalui penerapan standar mutu tidak dapat ditunda lagi karena ini akan memberikan rasa keadilan, tetapi sebelumnya harus didahului oleh upaya-upaya peningkatan kualitas manajemen, Guru dan infrastruktur pendidikan secara signifikan.
Masih menurut Estu penilaian kualitas pendidikan selain dikembalikan kepada Masyarakat, juga harus diberikan kepada Depdiknas dan Institusi Independen lainnya dan Guru sebagai insan pendidik harus diberikan otonomi untuk memberi nilai yang meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik secara kontinyu dan berkesinambungan.
Sedangkan I Nengah Suparta melihat mutu pendidikan dapat dipandang lebih representatif jika diorientasikan pada kebutuhan seleksi, sehingga menggiring insan pendidik mengarahkan sistem pada kemampuan yang real. Kemajuan sistem pendidikan dapat diharapkan jika proses seleksi dilaksanakan pada kemampuan nyata pemegang ijazah bukan pada penampilan ijazahnya.
Estu dan Suparta berpendapat yang sama tentang perlunya sistem penilaian bukan pada domain kognitifnya saja tetapi juga pada aspek afektif dan psikomotorik serta kemampuan adaptasi terhadap lingkungan. Dalam melaksanakan standarisasi lulusan yang “achievable” (dapat dijalankan) pelaksanaannya harus jujur, transparan dan komprehensif. Kedua penulis juga berpendapat bahwa standarisasi mutu pendidikan akan lebih baik dikorelasikan dengan seleksi penerimaan siswa pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, malah Suparta menambahkan kemampuan akademik siswa yang baik dapat diarahkan ke SMA dan yang kurang ke SMK Kejuruan.
Dari kedua tulisan dapat disimpulkan bahwa latar belakang penulisan berada dalam isu yang sama, penilaian kelulusan mestinya dapat menjangkau ranah kognitif, afektif dan psikomotorik secara kontinyu dan berkelanjutan, penilaian kelulusan diharapkan berorientasi pada seleksi dan lulusan diarahkan pada kemampuan yang real bukan semata pada penampilan ijazahnya. Kedua tulisan memiliki kesamaan pandangan untuk meningkatkan mutu pendidikan.


RANGKUMAN DARI TULISAN
1. Estu Retnaningtyas Nugraheni
Judul : Standarisasi Mutu Pendidikan
2. I Nengah Suparta
Judul : Orientasikan Proses Pendidikan pada Seleksi

PERANGKUM :
Made Wiryana

Read More (Lihat lebih Detail)......

Saturday, May 3, 2008

Salonding Riwayatmu Kini


SALONDING menanti generasi muda.

Salonding merupakan gamelan Bali yang usianya lebih tua dari gamelan-gamelan yang kini populer dipakai dalam kesenian maupun dalam upacara adat dan agama. Tidak semua desa di Bali memiliki budaya yang dekat dengan jenis gamelan ini, kecuali beberapa desa tua di belahan selatan dan timur pulau Bali.

Tidak seperti gamelan lainnya yang bilah-bilah perunggu digantung dengan tali sapi pada badan gamelan, pada salonding bilah-bilah perunggu bahkan yang lebih tua bilah bilah besi diletakkan dengan pengunci secukupnya di atas badan gamelan tanpa bilah resonan(bambu resonan) seperti jenis gamelan saat ini.
Dengan suara yang khas, salonding dengan nada klasiknya mengiringi penari rejang dalam "mesolah" persembahan tari dalam upacara yadnya di desa desa tua seperti Tenganan, Bugbug, Asak dan beberapa desa di belahan timur pulau Bali.


Tapi saat ini, gamelan salonding seakan yang dengan tabah mengiringi yadnya sejak ratusan tahun lampau, tidak pernah dilirik sedikitpun oleh generasi muda untuk memukul bilah-bilahnya. Pemukul salonding yang sudah berusia lanjut seakan tak berdaya untuk menarik para pemudanya untuk menggantikan dirinya, karena generasi penerus lebih senang hidup mengikuti gaya hidup modern atau yang tertarik lebih senang memukul bilah-bilah gamelan gong kebyar yang lagi populer.

Siapakah yang akan melanjutkan memukul bilah-bilah salonding jika keadaan tetap seperti ini?

Gemerlap pesta kesenian Bali dengan lomba gong kebyarnya seakan sedetikpun tak menoleh pada salonding. Ataukah salonding ingin dibiarkan menghilang karena peralatan tua harus segera diganti dengan yang baru seperti mengganti sepeda motor Sundap dengan Honda Vario?

Bagaimana dengan yadnya yang diiringi oleh salonding harus diganti dengan kebyar, lenggak lenggok penari rejang klasik diganti dengan rejang dewa atau kontemporer?



Salonding menunggu generasi muda, siapa?

Read More (Lihat lebih Detail)......