Pokok – pokok Argumentasi
Perdebatan Metodologi
dalam Ilmu – ilmu Sosial
Perdebatan Metodologi
dalam Ilmu – ilmu Sosial
Disarikan dari berbagai sumber oleh Made Wiryana
Dalam tulisan ini akan diungkapkan pokok-pokok argumentasi yang dikemukakan oleh beberapa ahli filsafat ilmu, dalam perdebatan metodologi ilmu – ilmu sosial, terutama berkaitan dengan metodologi penelitian ilmu – ilmu sosial. Perdebatan ini dimulai pada dari abad ke – 18 dan sampai sekarangpun masih berlangsung. Perdebatan itu pada hakekatnya adalah pertentangan tentang pembagian kerja ilmu pengetahuan alam (Naturwissenschaften) dan humaniora (Geisteswissenchaften).
UNIFIKASI SCIENCE DAN HUMANIORA : SEBUAH CITA-CITA.
Unifikasi ini dipelopori oleh Max Weber dan kemudian disempurnakan oleh Juergen Habermas sebagai filosuf generasi berikutnya. Beberapa argumentasi atau pemikiran Habermas dapat dinyatakan sebagai berikut.
Juergen Habermas :
· Menentang keberadaan pembagian kerja antara ilmu pengetahuan alam dengan humaniora, dan mencoba melakukan rekontruksi metodologis dengan cara to go beyond Neo-Kantian epistemology. Suatu paham yang dipelopori Rickert dan Windelband.
· Menegaskan ketika ilmu alam dan humaniora mampu hidup berdampingan, baik dalam kondisi saling mengabaikan ataupun kalau tidak dalam situasi saling menunjukkan kehebatannya, tugas ilmu-ilmu sosial harus memecahkan pembagian kerja tersebut menjadi satu atap. Tidak perlu ada lagi pemisahan secara tegas antara apa yang dimaksud dengan logika ilmu (science) dan apa yang dimaksud dengan logika humaniora, kedua logika itu dapat dimanfaatkan dan saling memberikan keuntungan kalau diterapkan dalam memahami realitas sosial.
· Berupaya menentang hegemoni positivisme yang menjelma dalam berbagai dominasi konsep-konsep empiris-analitis dalam ilmu-ilmu sosial dengan cara menunjukkan perlunya mengembangkan text interpreting humanities dalam studi sosial dan kemanusiaan.
· Mampu mengkritik dan merekontruksi pendekatan fenomenologi (Schuetz), etnometodologi (Garfinkel dan Cicourel), permainan linguistik (Wittgenstein dan Winch) dan tradisi hermeneutik (Gadamer). Dengan memahami, membela sekaligus memberi kritik merupakan metode refleksi-diri yang menjadi tulang punggung perkembangan teori kritis Habermas.
· Dengan basis teori kritis, Habermas mampu meningkatkan peran metode interpretif (Verstehen) dan sekaligus mengurangi hegemoni positivisme dalam hal metode empiris-analitis hingga sampai batas yang proporsional.
· Habermas tidak hanya membawa metode ilmu alam (empiris-analitis) dan humaniora (historis-hermeneutik) di bawah satu atap, tetapi juga mengetahui manfaat sekaligus menerima kelemahan keduanya dalam rangka sebagai alat untuk memahami gejala sosial.
· Disamping ada dua metode yaitu metode ilmu alam dan humaniora, Habermas mengembangkan satu lagi metode yang merupakan derivasi dari pendekatan psiko-analisis yaitu metode refleksi-diri yang kemudian melahirkan ilmu-ilmu kritis.
Cita – cita Juergen Habermas menyatukan ilmu pengetahuan alam dengan humaniora menjadi satu atap, sebenarnya sudah dirintis oleh filosuf pendahulunya yaitu Max Weber, seorang pembaharu dari mazab Frankfurt. Beberapa pemikiran Max Weber dijelaskan dalam sub bab berikutnya. Dimana perdebatan metode terjadi sejak abad ke-18 dan awal abad ke-19, dan perselisihan positivisme pada abad ke-20.
Unifikasi ini dipelopori oleh Max Weber dan kemudian disempurnakan oleh Juergen Habermas sebagai filosuf generasi berikutnya. Beberapa argumentasi atau pemikiran Habermas dapat dinyatakan sebagai berikut.
Juergen Habermas :
· Menentang keberadaan pembagian kerja antara ilmu pengetahuan alam dengan humaniora, dan mencoba melakukan rekontruksi metodologis dengan cara to go beyond Neo-Kantian epistemology. Suatu paham yang dipelopori Rickert dan Windelband.
· Menegaskan ketika ilmu alam dan humaniora mampu hidup berdampingan, baik dalam kondisi saling mengabaikan ataupun kalau tidak dalam situasi saling menunjukkan kehebatannya, tugas ilmu-ilmu sosial harus memecahkan pembagian kerja tersebut menjadi satu atap. Tidak perlu ada lagi pemisahan secara tegas antara apa yang dimaksud dengan logika ilmu (science) dan apa yang dimaksud dengan logika humaniora, kedua logika itu dapat dimanfaatkan dan saling memberikan keuntungan kalau diterapkan dalam memahami realitas sosial.
· Berupaya menentang hegemoni positivisme yang menjelma dalam berbagai dominasi konsep-konsep empiris-analitis dalam ilmu-ilmu sosial dengan cara menunjukkan perlunya mengembangkan text interpreting humanities dalam studi sosial dan kemanusiaan.
· Mampu mengkritik dan merekontruksi pendekatan fenomenologi (Schuetz), etnometodologi (Garfinkel dan Cicourel), permainan linguistik (Wittgenstein dan Winch) dan tradisi hermeneutik (Gadamer). Dengan memahami, membela sekaligus memberi kritik merupakan metode refleksi-diri yang menjadi tulang punggung perkembangan teori kritis Habermas.
· Dengan basis teori kritis, Habermas mampu meningkatkan peran metode interpretif (Verstehen) dan sekaligus mengurangi hegemoni positivisme dalam hal metode empiris-analitis hingga sampai batas yang proporsional.
· Habermas tidak hanya membawa metode ilmu alam (empiris-analitis) dan humaniora (historis-hermeneutik) di bawah satu atap, tetapi juga mengetahui manfaat sekaligus menerima kelemahan keduanya dalam rangka sebagai alat untuk memahami gejala sosial.
· Disamping ada dua metode yaitu metode ilmu alam dan humaniora, Habermas mengembangkan satu lagi metode yang merupakan derivasi dari pendekatan psiko-analisis yaitu metode refleksi-diri yang kemudian melahirkan ilmu-ilmu kritis.
Cita – cita Juergen Habermas menyatukan ilmu pengetahuan alam dengan humaniora menjadi satu atap, sebenarnya sudah dirintis oleh filosuf pendahulunya yaitu Max Weber, seorang pembaharu dari mazab Frankfurt. Beberapa pemikiran Max Weber dijelaskan dalam sub bab berikutnya. Dimana perdebatan metode terjadi sejak abad ke-18 dan awal abad ke-19, dan perselisihan positivisme pada abad ke-20.
PERSELISIHAN METODE DALAM ILMU-ILMU SOSIAL DI JERMAN.
Untuk dapat menyimak dengan baik pemikiran-pemikiran Juergen Habermas, akan lebih baik bila mengetahui sejarah perdebatan metode ini, yang sampai sekarangpun masih berlangsung.
Perdebatan dimulai ketika para filosof menentukan status keilmuan dan metodologi dari disiplin ilmu ekonomi. Perdebatan antara Gustav Schmoller dan Carl Menger. (1870-an dan 1880-an) apakah ilmu ekonomi harus bekerja menurut metode eksakta atau historis, deduktif atau induktif dan abstrak atau empiris. Dengan kata lain ilmu ekonomi merupakan kategori pengetahuan nomotetik atau ideografik.
· Rickert dan Windelband membedakan antara ilmu-ilmu nomotetik yang berdasarkan pada metoda ilmu alam, dan ideografik yang berdasarkan pada humaniora. Nomotetis merupakan pengetahuan yang mencari keteraturan, sedangkan ideografik mencari spesifikasi suatu gejala. Kedua metode ini tidak dapat saling direduksi
· Wilhem Dilthey membedakan Geisteswissenschaften atau ilmu-ilmu sosial budaya dan Naturwissenschaften atau ilmu-ilmu alam.
· Max Weber, menegaskan bahwa ilmu sosial dapat mengambil alih metode ilmu alam sehingga mengusulkan metode Erklaeren, tetapi juga sekaligus dapat menggunakan metode ilmu-ilmu humaniora yaitu metode interpretasi atau Verstehen. Ilmu sosial dapat bersifat bebas nilai (Wertfreiheit) tetapi juga sekaligus menegaskan adanya relevansi nilai (Werturteil) dalam memahami gejala sosial. Pemikiran Weber ini menjadi peletak epistemologi to go beyond Neo-Kantian.
Untuk dapat menyimak dengan baik pemikiran-pemikiran Juergen Habermas, akan lebih baik bila mengetahui sejarah perdebatan metode ini, yang sampai sekarangpun masih berlangsung.
Perdebatan dimulai ketika para filosof menentukan status keilmuan dan metodologi dari disiplin ilmu ekonomi. Perdebatan antara Gustav Schmoller dan Carl Menger. (1870-an dan 1880-an) apakah ilmu ekonomi harus bekerja menurut metode eksakta atau historis, deduktif atau induktif dan abstrak atau empiris. Dengan kata lain ilmu ekonomi merupakan kategori pengetahuan nomotetik atau ideografik.
· Rickert dan Windelband membedakan antara ilmu-ilmu nomotetik yang berdasarkan pada metoda ilmu alam, dan ideografik yang berdasarkan pada humaniora. Nomotetis merupakan pengetahuan yang mencari keteraturan, sedangkan ideografik mencari spesifikasi suatu gejala. Kedua metode ini tidak dapat saling direduksi
· Wilhem Dilthey membedakan Geisteswissenschaften atau ilmu-ilmu sosial budaya dan Naturwissenschaften atau ilmu-ilmu alam.
· Max Weber, menegaskan bahwa ilmu sosial dapat mengambil alih metode ilmu alam sehingga mengusulkan metode Erklaeren, tetapi juga sekaligus dapat menggunakan metode ilmu-ilmu humaniora yaitu metode interpretasi atau Verstehen. Ilmu sosial dapat bersifat bebas nilai (Wertfreiheit) tetapi juga sekaligus menegaskan adanya relevansi nilai (Werturteil) dalam memahami gejala sosial. Pemikiran Weber ini menjadi peletak epistemologi to go beyond Neo-Kantian.
Tapi pada akhirnya kaum positivisme memenangkan perdebatan metodologi ilmu ekonomi, karena dukungan komunitas ilmiah. Sehingga ilmu ekonomi berusaha mensejajarkan diri dengan ilmu alam dengan mengambil alih metode ilmu alam. Para Filosof yang tidak setuju dengan status itu (mereka yang mendukung ilmu ekonomi dengan wawasan historis, seperti Weber) akhirnya terserap dalam sosiologi. Mereka mengembangkan ekonomi dengan wawasan historis dan budaya pada perkembangan lebih lanjut masuk dalam disiplin sosiologi ekonomi. Hegemoni positivisme dalam ekonomi atau sosiologi ditandai dengan dominasi logika deduktif-logis yaitu metode survey dan statistik dalam analisis, bukannya metode historis dan interpretatif.
Juergen Habermas menentang dominasi ini, dia mengakui kehebatan positivisme tetapi sekaligus meletakkan positivisme sesuai dengan porsinya dalam ilmu-ilmu sosial.
Juergen Habermas menentang dominasi ini, dia mengakui kehebatan positivisme tetapi sekaligus meletakkan positivisme sesuai dengan porsinya dalam ilmu-ilmu sosial.
KEKUASAAN PEMBANGUNAN, LOGIKA POSITIVISME DAN HEGEMONI METODE SURVAI : SEBUAH PENGALAMAN POLITIK AKADEMIK ORDE BARU
Hegemoni positivisme dalam metode pembangunan dan metode penelitian di Indonesia juga memunculkan beberapa kelemahan seperti yang telah berlangsung selama ini. Beberapa argumen yang disarikan dari buku ini dapat di kemukakan sebagai berikut.
· Hasil penelitian sebenarnya adalah sarana kontrol jalannya pembangunan tetapi di Indonesia fungsi ini tidak ada, malah metode penelitian sering bias kepada prioritas-prioritas pembangunan itu sendiri.
· Pembangunan sangat deterministik terhadap kegiatan akademik dan kurang akomodatif.
· Perbincangan pembangunan mendominasi bidang akademik, target-target pembangunan berdampak pada pemilihan dan penggunaan metode penelitian sosial yang dianggap relevan untuk mendukungnya, dimana metode penelitian empiris-analitis sangat mendominasi.
· Metode survai, statistik atau metode empiris-analitis ini dibuat sedemikian rupa sehingga hipotesisnya mengarah pada generalisasi atau prediksi, ini membuat hasil-hasilnya tidak berpihak pada realita di bawah.
· Karena kepentingan teknis, metode empiris-analitis kurang mampu melakukan refleksi kualitatif perkembangan sosial, sehingga cenderung dipakai sebagai instrumen legitimasi kesuksesan pembangunan dengan cara menunjukkan standar-standar kesuksesan yang bersifat kuantitatif.
· Metode empiris-analitis lebih bersifat melayani pembangunan daripada mengontrolnya.
Apabila pembangunan ke depan lebih menitik beratkan pada kualitas manusia atau manusia sebagai pusat pembangunan, maka perlu memberikan ruang gerak yang lebih lebar kepada metode penelitian historis-hermeneutis dan kritis. Beberapa permasalahan pembangunan justru akan lebih mengenal dengan metode ini.
· Model pembangunan yang menitik beratkan pembangunan manusia seutuhnya mempunyai kepentingan ideologis yang sama dengan metode penelitian historis-hermeneutis dan kritis, yaitu kepentingan praktis dan emansipatoris dalam konteks pembangunan manusia.
· Metode penelitian historis-hermeneutis dan kritis berupaya memahami manusia dari dimensi interaksi sosial budaya baik horisontal (inter-subyek) dan vertikal (kesejahteraan dan aspirasi) dan melalui analisis reflektif berupaya membebaskan manusia dari belenggu ideologis atau struktur politik yang mengungkungnya. Kedua metode penelitian ini bersifat humanis dan dapat menjadi kontrol jalannya pembangunan.
· Penerapan positivisme dapat dibenarkan bila sesuai dengan proporsinya, yaitu sejauh untuk mendapatkan data dan bukan dipakai untuk memprediksidan melalui tekanan politis dipergunakan untuk menentukan jalannya sejarah. Kita dapat menggunakan masing-masing metode (empiris-analitis, historis-hermeneutis dan kritis) secara parsial dan integratif sesuai kasus yang dihadapi.
Hegemoni positivisme dalam metode pembangunan dan metode penelitian di Indonesia juga memunculkan beberapa kelemahan seperti yang telah berlangsung selama ini. Beberapa argumen yang disarikan dari buku ini dapat di kemukakan sebagai berikut.
· Hasil penelitian sebenarnya adalah sarana kontrol jalannya pembangunan tetapi di Indonesia fungsi ini tidak ada, malah metode penelitian sering bias kepada prioritas-prioritas pembangunan itu sendiri.
· Pembangunan sangat deterministik terhadap kegiatan akademik dan kurang akomodatif.
· Perbincangan pembangunan mendominasi bidang akademik, target-target pembangunan berdampak pada pemilihan dan penggunaan metode penelitian sosial yang dianggap relevan untuk mendukungnya, dimana metode penelitian empiris-analitis sangat mendominasi.
· Metode survai, statistik atau metode empiris-analitis ini dibuat sedemikian rupa sehingga hipotesisnya mengarah pada generalisasi atau prediksi, ini membuat hasil-hasilnya tidak berpihak pada realita di bawah.
· Karena kepentingan teknis, metode empiris-analitis kurang mampu melakukan refleksi kualitatif perkembangan sosial, sehingga cenderung dipakai sebagai instrumen legitimasi kesuksesan pembangunan dengan cara menunjukkan standar-standar kesuksesan yang bersifat kuantitatif.
· Metode empiris-analitis lebih bersifat melayani pembangunan daripada mengontrolnya.
Apabila pembangunan ke depan lebih menitik beratkan pada kualitas manusia atau manusia sebagai pusat pembangunan, maka perlu memberikan ruang gerak yang lebih lebar kepada metode penelitian historis-hermeneutis dan kritis. Beberapa permasalahan pembangunan justru akan lebih mengenal dengan metode ini.
· Model pembangunan yang menitik beratkan pembangunan manusia seutuhnya mempunyai kepentingan ideologis yang sama dengan metode penelitian historis-hermeneutis dan kritis, yaitu kepentingan praktis dan emansipatoris dalam konteks pembangunan manusia.
· Metode penelitian historis-hermeneutis dan kritis berupaya memahami manusia dari dimensi interaksi sosial budaya baik horisontal (inter-subyek) dan vertikal (kesejahteraan dan aspirasi) dan melalui analisis reflektif berupaya membebaskan manusia dari belenggu ideologis atau struktur politik yang mengungkungnya. Kedua metode penelitian ini bersifat humanis dan dapat menjadi kontrol jalannya pembangunan.
· Penerapan positivisme dapat dibenarkan bila sesuai dengan proporsinya, yaitu sejauh untuk mendapatkan data dan bukan dipakai untuk memprediksidan melalui tekanan politis dipergunakan untuk menentukan jalannya sejarah. Kita dapat menggunakan masing-masing metode (empiris-analitis, historis-hermeneutis dan kritis) secara parsial dan integratif sesuai kasus yang dihadapi.
IMPLIKASI TERHADAP METODE PENELITIAN SOSIAL
Setelah memperhatikan perdebatan metodelogi dan realitas politis di Indonesia persoalan selanjutnya, khususnya yang berkaitan dengan masalah akademik, adalah bagaimana metodologi penelitian sosial diajarkan secara komplit kepada mahasiswa, tidak berat sebelah dan tidak juga mengalami bias positivisme. Untuk itu perlu reformasi substansi metodologi penelitian, dimana taksonomi epistemologi dari Juergen Habermas dapat dipakai acuan yaitu :
Setelah memperhatikan perdebatan metodelogi dan realitas politis di Indonesia persoalan selanjutnya, khususnya yang berkaitan dengan masalah akademik, adalah bagaimana metodologi penelitian sosial diajarkan secara komplit kepada mahasiswa, tidak berat sebelah dan tidak juga mengalami bias positivisme. Untuk itu perlu reformasi substansi metodologi penelitian, dimana taksonomi epistemologi dari Juergen Habermas dapat dipakai acuan yaitu :
Taksonomi Epistemologi Juergen Habermas
Dimensi Kerja Dimensi Kom. Dimensi Kekuasaan
Dimensi Kerja Dimensi Kom. Dimensi Kekuasaan
Kepentingan teknis praktis emansipatoris
Pengetahuan informatif interpretatif analisis
Tindakan rasional-tujuan komunikatif emansipatoris
Ungkapan deduktif-nomologis induktif-dialogis perbincangan
Linguistik monologal emansipatoris
Metodologi empiris-analitis historis-hermeneutis refleksi diri
Sistemik Metodis ilmu-ilmu alam & sosial empiris humaniora teori kritis
Linguistik monologal emansipatoris
Metodologi empiris-analitis historis-hermeneutis refleksi diri
Sistemik Metodis ilmu-ilmu alam & sosial empiris humaniora teori kritis
1. Metodologi penelitian sosial, berisi lebih dari sekedar masalah teknis penelitian tetapi juga mencakup aspek-aspek dan diskursus metodologi penelitian. Antara lain mencakup perdebatan tentang metodologi, positivisme hingga perselisihan metodologi yang sedang berlangsung saat ini.
2. Metode penelitian kuantitatif, bila mengikuti taksonomi mencakup metode penelitian empiris-analitis, yang antara lain mencakup : pemahaman atas logika deduksi, logika survai, termasuk bagaimana survai dikaitkan dengan analisis statistik, bila memungkinkan diajarka bagaimana teknik content analysis.
3. Metode penelitian kualitatif berisikan metode penelitian historis-hermeneutis yang antara lain mencakup logika induksi, deduksi, metode fenomenologi, etnometodologi, hermeneutika, dan interpretasi. Jika memungkinkan metode refleksi-diri (metode kritis).
4. Statistik sosial berisikan materi-materi yang berkaitan dengan teknik-teknik statistik yang relevan dan mutakhir, terutama sebagai penjabaran lebih lanjut dari mata kuliah metode penelitian kuantitatif.
KESIMPULANKU
Dari beberapa argumentasi yang muncul dalam buku yang ditelaah dapat disimpulkan bahwa :
1. Perdebatan metodologi ilmu-ilmu sosial masih berlangsung walau dalam itensitas yang berbeda dengan beberapa abad yang lalu.
2. Pemikiran Juergen Habermas memberikan jalan keluar yang cemerlang untuk mengurangi perdebatan metodologi dan positivisme tersebut dengan melakukan rekontruksi metodologi sehingga muncul metode historis-hermeneutis dan kritis.
3. Pembangunan yang berpusat pada manusia perlu menggunakan metodologi yang mempunyai kesamaan ideologis dengan pembangunan manusia yaitu metode historis-hermeneutis dan kritis.
4. Penggunaan metode empiris-analisis (positivisme) dibenarkan sesuai dengan proporsinya sejauh tidak memprediksi jalannya sejarah apalagi mengeneralisasi semua kasus.
5. Pembelajaran metode penelitian dapat memakai acuan pada taksonomi Juergen Habermas untuk memberikan pemahaman metode penelitian .
No comments:
Post a Comment