Tuesday, April 15, 2008

Paradigma Holistik


Dialog Filsafat, Sains, dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead

(intisari dari sebuah buku)
Dunia telah menampakkan adanya problem-problem yang belum mendapatkan penyelesaian, berbagai problem krisis global yang serius menghadang di tengah perjalanan hidup saat ini dan mendatang. Jaman globalisasi memasuki millennium ketiga membawa banyak problem yang serius dan krisis global yang kompleks dan multi dimensional yang menghantui umat manusia. Krisis ekologis, kekerasan, dehumanisasi, moral, kriminalitas, kesenjangan sosial yang kian menganga, kelaparan dan penyakit merupakan problem yang saling terkait satu dengan yang lainnya.
Berbagai krisis global tersebut menurut pandangan beberapa filsuf termasuk penulis buku ini, diakibatkan paradigma yang dianut selama lebih 300 tahun yang bersifat mekanistis-atomistik-deterministik yang diistilahkan sebagai Paradigma Cartesian-Newtonian. Paradigma ini dipelopori oleh pemikiran Descartes dan Newton yang telah menghegemoni dunia selama ini.
Untuk mengatasi problem tersebut Penulis mencoba mensintesis pemikiran Mulla Sadra dan Whitehead dan mengajukan suatu paradigma alternatif yang diistilahkan sebagai Paradigma Holistik, pemikiran Penulis dalam banyak hal dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Arnold Toynbe, Fritjof Capra dan beberapa Filsuf lainnya.Buku ini terdiri dari empat Bab yang tersusun mulai dari Pendahuluan (Bab I) yang membahas lingkup permasalahan yang terjadi saat ini sampai pada sistematika penulisan buku ini, Bab II memaparkan hegemoni paradigma “Cartesian-Newtonian” selama kurang lebih 300 tahun dalam kehidupan manusia yang lebih memperlihatkan dualisme yaitu pemisahan kesadaran dan materi. Bab III mengungkapkan perkembangan sains dan implikasi filosofisnya dimana penulis mengambil contoh pada dua bidang ilmu yaitu fisika dan biologi dimana perkembangan ilmu pengetahuan semakin jelas menjauh dari paradigma sebelumnya. Bab IV berisi suatu paradigma yang dapat merekonsilisasi kesadaran dan materi atau antidualisme yang mengarah pada suatu paradigma baru yang dinamai paradigma Holistik, dimana penulis banyak dipengaruhi pandangan ontologi Sadra dan kosmologi Whitehead. Bab terakhir (Bab V) merupakan kesimpulan dari inti permasalahan yang mengarah pada karakteristik paradigma Holistik-Dialogis.
Mengapa paradigma holistik diperlukan
Penulis mengambil suatu latar belakang mengapa Paradigma Holistik ini diperlukan dari berbagai kejadian dan pendapat dengan menitik beratkan pada suatu istilah yang diberikan Capra yaitu Krisis Presepsi dan mencoba menjelaskan bagaimana suatu tuntutan paradigma baru dibutuhkan.
Perkembangan sains dan teknologi yang spektakuler pada abad ke-20 ternyata tidak selalu berkorelasi positif dengan kesejahteraan manusia. Arnold Toynbee menyebutkan terjadinya ketimpangan yang sangat besar antara sains dan teknologi yang berkembang sedemikian pesat dan kearifan moral dan kemanusiaan yang sama sekali tidak berkembang, kalau tidak dikatakan malah mundur ke belakang. Bahkan Fritjof Capra mengemukakan bahwa krisis-krisis global di muka dapat dilacak pada cara pandang dunia manusia modern. Pandangan dunia yang diterapkan selama ini adalah pandangan dunia mekanistik-linier Cartesian dan Newtonian (disebut sebagai Paradigma Cartesian-Newtonian). Paradigma Cartesian-Newtonian disatu sisi berhasil mengembangkan sains dan teknologi yang memudahkan kehidupan manusia, namun di sisi lain mereduksi kompleksitas dan kekayaan manusia itu sendiri. Pandangannya yang mekanistik terhadap alam telah melahirkan pencemaran udara, air, tanah yang mengancam balik kehidupan manusia. Penekanan yang berlebihan pada metode ilmiah eksperimental dan rasional analitis telah menimbulkan sikap-sikap yang antiekologis. (hal. 2).

Krisis Persepsi
Karena paradigma Cartesian-Newtonian bersifat analitis-reduksionis, mekanistik dan linier sehingga akan memilah-milah, mengisolasi, dan mendistorsi keaneka ragaman dan dinamika realitas maka berakibat realitas yang plural dan saling terkait antara satu dengan yang lainnya tidak mampu dipersepsi dan digambarkan oleh paradigma tersebut. Alih-alih memahami realitas secara tepat, ketidakmampuan ini justru menimbulkan persoalan-persoalan yang lebih besar, karena pemahaman yang salah atau bersifat reduksionis terhadap realitas juga akan berimplikasi kepada penanganan dan pemecahan masalah yang tidak memadai dan cenderung simplistik, yang pada gilirannya membawa persoalan makin kompleks.
Capra menegaskan bahwa krisis multidimensional dan kompleks yang melanda dunia sekarang ini berawal dari krisis presepsi. Paradigma Cartesian-Newtonian tidak dapat lagi dipakai untuk memahami realitas yang menampakkan keterkaitan satu sama lain di antara fenomena biologi, fisik, sosial, spritual dan lingkungan (hal. 7).
Pada tataran teoritis, krisis presepsi telah terjadi terlebih dahulu. Perkembangan ilmu pengetahuan di luar perkiraan dan harapan manusia modern, telah mengguncang sendi-sendi positivisme yang selama ini menjadi fondasi manusia modern dalam memaknai perkembangan sains. Munculnya fisika modern dengan teori relativitas Einstein dan teori kuantum telah mengguncang mekanika klasik Newtonian dan paradigma positivisme yang telah tiga abad dianut manusia modern.
Krisis epistemologis dalam istilah Thomas Kuhn dalam buku ini sebagai krisis paradigma, ini pada gilirannya mengguncang keyakinan manusia modern terhadap sains sebagai representasi realitas. Akibatnya, berkembanglah pragmatisme-instrumentalistik, skeptisisme dan nihilisme yang tidak lagi mempunyai apresiasi tinggi terhadap sains, rasionalitas, dan kebudayaan bahkan terhadap seluruh pengetahuan manusia. Generasi sophisme modern telah lahir, manusia mundur 2500 tahun kembali ke sofisme yunani klasik. (hal. 8)
Keguncangan epistemologi atau paradigma sains itu terjadi karena pandangan dunia Cartesian-Newtonian yang dianut kebanyakan manusia modern tidak sanggup lagi mencerna dan memahami fenomena-fenomena perkembangan sains mutakhir. Ironisnya, fenomena-fenomena yang tak terpahami justru muncul dari sains fisika yang oleh penganut Cartesian-Newtonian dianggap induk ilmu pengetahuan.

Tuntutan Paradigma Baru
Dengan begitu banyaknya persoalan besar yang menghadang peradaban global sekarang dan tidak sesuainya tuntutan perkembangan zaman dengan cara pandang manusia maka dengan pengakuan terhadap adanya dinamika realitas maka menuntut sebuah pandangan dunia yang lebih cair dan menyeluruh agar realitas itu terpahami, sementara itu manusia modern sekarang pada umumnya masih menganut pandangan dunia yang rigid dan mekanistik, yaitu Paradigma Cartesian-Newtonian. Munculnya mesin-mesin digital yang membelah sekat pemisah antar kelompok dan menjadikan mereka intens untuk berkomunikasi, tetapi kemudahan berkomunikasi tidak meningkatkan kualitas komunikasi untuk membangun dialog kemanusiaan dan peradaban tetapi justru tidak meningkatkan saling pemahaman dan kepercayaan malah mendorong kelompok-kelompok untuk menyalurkan hasrat dominasi dan eksploitasi mereka. Disatu sisi, arus global telah menghilangkan batas-batas ruang fisik yang mestinya makin mendekatkan relasi antar manusia dalam iklim yang lebih terbuka, dialogis, toleran dan plural. Namun di lain sisi cara pandang yang dianut kebanyakan manusia tidak memungkinkan relasi yang dialogis dan humanis itu terwujud karena pandangan dunia mereka berkarakter mekanistik, atomistik, dualistik, oposisi biner, reifikasi dan materialistik.
Husain Heiyanto sebagai penulis banyak dipengaruhi Filsuf lain seperti pendapat Jurgen Habermas yang dikatakan Muhhamad Khatani yang mengatakan dialog peradaban menuntuk rasionalitas-komunikatif sementara dalam kenyataannya kebanyakan manusia dari berbagai tradisi peradaban sekarang ini masih menerapkan rasionalitas-instrumental. Oleh karena itu manusia modern benar-benar membutuhkan sebuah pandangan dunia baru untuk dapat menanggulangi krisis-krisis dan problem-problem global, pemikiran, persepsi dan nilai yang dianut selama tiga abad ini harus diubah secara mendasar. (hal. 10)
Fritjof Capra mengajukan pemikiran bahwa “ Kita memerlukan sebuah revolusi budaya dalam pengertian sejati. Keberlangsungan seluruh peradaban kita akan sepenuhnya tergantung apakah kita mampu mengadakan perubahan tersebut atau tidak ….. Kita memerlukan sebuah paradigma baru, visi baru tentang realitas, perubahan yang mendasar pada pemikiran, persepsi, dan nilai yang kita anut selama ini… “ (hal. 12).
Pandangan dunia baru yang ditawarkan adalah Paradigma Holistik yang merupakan cara pandang yang menyeluruh dalam mempersepsi realitas. Sebagai sebuah pandangan dunia, paradigma baru itu dapat juga disebut sebagai filsafat holistik, sebagai salah satu varian paradigma pospositivisme sebuah cara pandang untuk mengisi kekosongan pemaknaan dan paradigma dalam memahami realitas dan sains setelah tumbangnya positivisme sebagai satu-satunya paradigma. Dalam konteks ini diharapkan filsafat holistik dapat memberikan kontribusi berharga bagi pematangan paradigma pospositivisme.
Hegemoni Paradigma Cartesian-Newtonian
Paradigma Cartesian-Newtonian telah menghegemoni cara pandang manusia modern, karena paradigma ini telah menjadi bagian cara-berada dari sistem, pola, dan dinamika modernisme, terlepas dari kenyataan apakah manusia modern menyadari hal ini atau tidak. Pengalaman sehari-hari tidak berdiri dan lepas dari filsafat dan gambaran tentang dunia yang dianut manusia modern dipengaruhi oleh cara pandang sains modern.
Hegemoni Paradigma Cartesian-Newtonian terhadap pandangan dunia manusia modern terkait erat dengan kenyataan sejarah bahwa peradaban modern memang dibangun atas dasar ontologi, kosmologi, epistemologi dan metodologi yang dicanangkan oleh dua tokoh utama penggerak modernisme, yaitu Rene Descartes dan Isaac Newton.
Tanpa mengesampingkan tokoh-tokoh ilmuwan lainnya, Alfred North Whitehead, Fritjof Capra, Seyyed Hossein Nasr, Thomas Kuhn, adalah contoh cendikiawan-filsuf yang menyebut Deccartes dan Newton sebagai pembangun fondasi pandangan dunia peradaban modern. (hal. 27).
Penulis memberikan bukti mengapa Descartes dan Newton dianggap pencetus paradigma tersebut. Hegemoni Paradigma Cartesian-Newtonian dimulai dari beberapa tokoh medernisme yang beberapa pandangannya dapat dituliskan sebagai berikut :

1. Pemikiran Rene Descartes (1596 – 1650)
Buku pertamanya magnum opus, ia mendobrak total seluruh pemikiran tradisi, ia menyatakan untuk perlunya menolak segala sesuatu yang datang dari tradisi dan otoritas dengan menempatkan rasio subjek sebagai titik pangkal bahwa manusia yang berpikir sebagai pusat dunia. Subjektifitas Descartes mengacu pada aktivitas rasio subjek
Descartes berupaya mematematikakan seluruh jenis pengetahuan manusia selaras dengan asumsi kosmologinya yang memandang alam memiliki struktur matematis. Dia tidak menerima apapun sebagai kebenaran jika tidak dapat dideduksi dengan gambaran matematika, dari pengertian-pengertian umum yang kebenarannya tidak dapat kita ragukan. Semua fenomena alam dapat dijelaskan dengan cara deduksi matematika.
Upaya Descartes untuk mematematikasi alam mendorongnya untuk berkesimpulan alam raya tak lain adalah mesin raksasa. Keterpilahan pemikiran dengan tubuh ini menjadi konsep sentral ontologi dan epistemologi Descartes yang dikenal dengan paham Dualisme. Dualisme pada gilirannya menciptakan pola pikir yang serba dikotomis atau logika biner. Kombinasi paham dualisme ini dengan gagasan matematisasi alam materi menggiring Descartes berkesimpulan bahwa tubuh tidak lain adalah sebuah mesin raksasa. Dalam pandangan Descartes, alam bekerja sesuai dengan hukum-hukum mekanik, dan segala sesuatu dalam alam materi dapat diterangkan dalam pengertian tatanan dan gerakan dari bagian-bagiannya. Tidak ada tujuan, kehidupan dan spirtualitas dalam alam semesta. (hal.34)

2. Pemikiran Isaac Newton (1642-1727)
Pemikiran Newton sangat dipengaruhi oleh beberapa tokoh yang lahir sebelumnya seperti Descartes, Copernicus, Kepler, Galileo, dan Bacon. Newton terlahir untuk merangkum seluruh prestasi dan karya ilmiah yang telah dicapai tokoh-tokoh tersebut.
Copernicus (1473-1543) merintis revolusi ilmiah dengan mengubah pandangan manusia terhadap tatanan kosmos dari geosentris ke heliosentris, bahwa bumi dan planet-planet mengelilingi matahari. Bumi tidak lagi menjadi pusat dunia sebagai pandangan Ptolemeus dan gereja.
Johannes Kepler (1571-1626) mendukung sistem Copernicus dengan merumuskan hukum-hukum empiris tentang gerak planet dan menemukan bahwa benda-benda angkasa lembam tak berdaya yang is sebut memiliki kelembaman (inersia).
Galileo (1546-1642) berhasil menetapkan hipotesis Copernicus menjadi teori ilmiah yang diterima secara umum oleh ilmuwan. Ia juga orang pertama yang memadukan percobaan ilmiah dengan bahasa matematika.
Francis Bacon (1561-1626), tokoh revolusi ilmiah yang mengintroduksi metode eksperimental dalam metode keilmuwan. Ia sangat menekankan metode induksi-empiristik dan menjadikan satu-satunya sebagai metode ilmiah yang sah dalam pengembangan ilmu.
Bacon dan Descartes sama-sama berpandangan mekanistik-atomistik terhadap alam, dan juga memandang ilmu sebagai alat yang membuat manusia menjadi penguasa dan pemilik alam. Lewat bukunya “Knowledge of power” Bacon jelas sekali memandang pengetahuan adalah kekuasaan dan memimpikan sebuah negara yang berteknologi tinggi, Bacon mengidentifikasi kebenaran dengan identifikasi kegunaan industrialisasi.
Bacon sangat populer dengan sikap pragmatis-fungsional terhadap ilmu. Baginya ilmu hanya bermakna jika dapat diterapkan secara praktis. Dalam pandangan Nasr Bacon berperan penting dalam mempopulerkan sains baru yang lebih berperan sebagai pencarian kekuasaan guna mendominasi alam daripada memahami alam, sedemikian sehingga berakibat pada pemaksaan alam untuk melayani kepentingan material manusia.
Newton menggabungkan mimpi visioner rasionalisme Descartes dan visi empirisme Bacon agar dapat ditransformasikan ke dalam kehidupan nyata melalui peletakan dasar-dasar mekanika. Ia memadukan Copernicus, Kepler, Galileo di bawah asumsi kosmologi Descartesian yang mekanistik, atomistik, deterministik, linier dan serba kuantitatif dan pada saat yang sama ia menerapkan metode eksperimental-induktif Baconian.

Asumsi-asumsi Paradigma Cartesian-Newtonian 1. Subjektivisme-Antroposentristik
Prinsip ini merepresentasikan modus khas kesadaran modernisme bahwa manusia merupakan pusat dunia. Hal inilah yang membuat Descartes membalikkan skema pendekatan metafisis dengan menolak cara-cara lama berfilsafat atau pendekatan tradisional. Prinsip ini juga mempunyai ciri dominasi manusia terhadap alam raya.2. Dualisme
Prinsip ini membagi realitas atas subjek dan objek, manusia dan alam, dengan menempatkan superioritas subjek atas objek. Dualisme ini juga meliputi pemisahan yang nyata dan mendasar antara kesadaran dan materi, pikiran dan tubuh, antara jiwa dan benda serta antara nilai dan fakta.3. Mekanistik-Deterministik
Realitas dapat dipahami dengan menganalisis dan memecah-mecahnya menjadi bagian-bagian kecil, lalu dijelaskan dengan pengukuran kuantitatif, hasil penyelidikan dari bagian-bagian kecil lalu digeneralisir untuk keseluruhan. Alam semesta termasuk manusia dipandang sebagai mesin besar yang dapat dipahami dengan menganalisis bagian-bagiannya. Jadi dalam pandangan mekanistik, keseluruhan adalah identik dengan jumlah dari bagian-bagiannya, persis sama dengan perhitungan kuantitatif dalam matematika.
Deterministik merupakan paham yang memandang alam sepenuhnya yang dapat dijelaskan, diramal, dikontrol berdasarkan hukum-hukum yang deterministik (pasti, niscaya) sedemikian rupa sehingga memperoleh kepastian yang setara dengan kepastian manusia.4. Reduksionisme-Atomistik
Alam semesta semata-mata dipandang sebagai mesin yang mati tanpa makna simbolik dan kualitatif, tanpa nilai, tanpa cita rasa etis dan estetis, alam benar-benar kosong dari nilai spritualitas. Berman mengistilahkan paham ini sebagai non-participant consciousness. Paradigma Cartesian-Newtonian telah meniadakan unsur-unsur kualitatif, simbolik, maknawi alam raya. Paham ini telah menggerus dan memiskinkan kekayaan dan pluralitas realitas sedemikian, sehingga hanya memiliki sebuah pandangan tunggal linier terhadap realitas.5. Instrumentalisme
Kebenaran suatu pengetahuan atau sains diukur dari sejauh mana ia dapat digunakan untuk memenuhi kepentingan – kepentingan material dan praktis. Newton telah dapat merumuskan secara matematis teori gravitasi tetapi tidak mengetahui mengapa dan apa penyebab gravitasi itu.. Habermas menyatakan sains modern memungkinkan kontrol teknis terhadap alam dan masyarakat, sains tidak lagi berhubungan dengan peningkatan kearifan kemanusiaan.6. Materialisme-Saintisme
Kelima pandangan di atas menyebabkan adanya pandangan materialisme-saintisme (materialisme ilmiah). Tidak lagi memasukkan unsur Tuhan dalam pergerakan alam. Newton percaya dengan Tuhan, Tuhan menciptakan partikel-partikel benda, kekuatan-kekuatan antar partikel dan hukum gerak dasar, tetapi setelah tercipta alam semesta terus bergerak seperti sebuah mesin yang berputar menurut hukum-hukum deterministik. Tiada tempat bagi fenomena yang tidak dapat diukur dalam filsafat eksperimental merupakan pandangan positivisme.
Paham – paham diatas menghegemoni peradaban manusia dalam kurun waktu hampir 300 tahun melalui proses sejarah yang panjang, yang diawali terbentuknya pembentukan subjektivitas manusia melalui sejarah peradaban modern sampai pada pendasaran filosofis menuju paham positivisme dan adanya budaya saintisme. Dan akhirnya paradigma ini yang dianut positivisme dan budaya saintisme telah menjadi wabah yang menjangkiti pelbagai dimensi kehidupan kita, baik di dunia ilmiah, dunia pendidikan, praktik medis, psikiatri maupun kehidupan sosial.
Asumsi-asumsi dan hegemoni Paradigma Cartesian-Newtonian dalam buku ini dijelaskan secara gamblang mulai halaman 31 sampai 71.
Perkembangan Sains dan Implikasi Filosofisnya Paradigma baru muncul juga dilatarbelakangi oleh aliran filsafat pospositivisme yang berkembang setelah adanya perkembangan sains itu sendiri. Dalam ilmu fisika dan biologi berkembang teori-teori baru yang revolusioner sehingga dapat menggembosi pondasi-pondasi sains modern itu sendiri. Fisika merupakan sains yang paling mendominasi wacana ilmiah modern bahkan menjadi model bagi sains lainnya, tetapi perkembangan fisika baru malah mengkritisi pondasi sains modern karena ditemukan teori yang sebelumnya tidak pernah dapat dijawab oleh sains modern seperti : Teori Relativitas (Albert Einstein), Teori Kuantum (Interpretasi Copenhagen), Fisika Bootstrap, Dissipative Structure (Ilya Prigogine).
Juga dalam ilmu biologi yang berkembang seperti Biologi Molekuler, Genetika, Neuro science dan Teori Evolusi memungkinkan membangun paradigma yang non mekanistik, nonlinier, nonkuantitatif yang semua karakter ini lebih dipenuhi oleh sistem-sistem hidup.
Perkembangan sains ini telah berimplikasi pada tatanan filosofis dengan adanya pemikiran pospositivisme yang salah satu variannya adalah munculnya paradigma holistik untuk manjawab berbagai problema yang muncul karena adanya hegemoni paradigma Cartesian-Newtonian pada era sekarang ini.
Rekonsiliasi Kesadaran dan Materi
Langkah pertama dan terpenting untuk mengatasi paradigma Cartesian-Newtonian adalah menawarkan paradigma baru yang holistik untuk menyelelesaikan problem dualisme atau keterpilahan kesadaran dan materi. Rekonsiliasi kesadaran dan materi merupakan paham yang bertolak belakang dengan paham dualisme dan dari rekonsiliasi pula akan terbentuk suatu paradigma baru yang disebut paradigma holistik.
Dengan dasar pemikiran di atas, perlu dimanfaatkan penemuan filosofis yang sangat penting dan agaknya sejauh ini paling memuaskan dalam penyelesaian problem dualisme. Gagasan segar dan orisinal ini datang dari Shadr Al-Din Al-Shirazi, yang lebih populer dengan nama Mulla Shadra (1572-1641). Filsuf Persia yang hidup sejaman dengan Descartes. Gagasan ini terkenal dengan istilah gerak trans-substansial. Sejalan dengan proses penyelesaian problem dualisme Filsafat Proses atau Fisafat Organisme Alfred North Whitehwad (1815-1947) yang banyak memiliki kesamaan dengan ontologi Mulla Sadra, dapat disintesiskan menuju terbentuknya paradigma baru yang dicanangkan.
Gerak Trans-Subtansial Mulla Sadra menyatukan Kesadaran-Materi
Pemikiran Sadra bermula dari penyelidikan eksistensial terhadap realitas. Metafilsafatnya didasarkan atas eksistensi (wujud) sebagai satu-satunya konstituen realitas. Eksistensi identik dengan realitas, sedang esensi atau kuiditas hanyalah kontruksi mental.
Sistem ontologi Sadra didasarkan atas tiga prinsip utama yaitu : (1) primasi eksistensi, (2) gradasi eksistensi, (3) gerak trans-substansial.
Prinsip primasi eksistensi merupakan landasan utama filsafat Sadra, dimana memprioritaskan eksistensi atas semua konsep dan esensi, serta memandang eksistensi sebagai satu-satunya realitas substantif. Ia menolak dualisme eksistensi-esensi dalam realitas, dualisme itu hanya muncul dalam pikiran.
Oleh karena itu eksistensi bukanlah atribut suatu entitas seperti terdapat dalam kalimat “Manusia ada” dan lebih tepat dikatakan “ini manusia”. Karena esensi adalah tidak ada dalam dirinya sendiri
Prinsip Gradasi Eksistensi, melihat eksistensi sebagai suatu realitas yang mengambil bagian dalam gradasi intensitas dan kesempurnaan. Eksistensi itu tidak statis tetapi bergerak terus menerus dari kurang sempurna ke yang lebih sempurna, dan bersifat satu arah tidak dapat dibalik. Sadra mengakui eksistensi merupakan relitas tunggal tapi menghargai keunikan segenap modus-modus eksistensi yang nampak dalam dunia plural (beragam), dapat disebutkan bahwa Prinsip Gradasi Eksistensi Sadra berarati mengakui keragaman dalam kesatuan bukan kesatuan dalam keragaman.
Shadra mengajak kita memasuki sistem ontologi eksistesial yang holistik, merupakan gambaran perbedaan paradigma mekanistik-atomik dengan paradigma holistik-dialogis. Jadi prinsip-prinsip ontologi Sadra dapat disimpulkan. Pertama, bahwa sistem ontologi Sadra bercorak eksistesialisme-holistik, karena diterapkan pada seluruh wujud yang terdapat di alam raya, tidak hanya pada eksistensi manusia sebagaimana eksistensi barat. Kedua, sistem ontologis Sadra dapat menjelaskan unitas dan pluralitas dengan lebih adil dan proporsional melalui analisis eksistensial terhadap dinamika realitas. Ketiga, sistem ontologi Sadra berkarakter dinamis, holistik dan sistemik. Kempat, sistem ontologi Sadra dapat secara konstruktif membangun paradigma baru untuk aktivitas-aktivitas ilmiah, kebudayaan dan kehidupan sosial pada umumnya.
Gerak trans-substansial adalah jika badan-badan padat dicairkan dan dianalisis ke dalam suatu faktor potensialitas gerak murni yang disebut materi dan suatu faktor yang mengaktualisasikan yang disebut forma fisik atau hakikat jasmani yang secara terus menerus berubah dan menimbulkan suatu kontinum ruang-waktu, dalam arti bahwa tidak ada ruang dan juga tidak ada waktu yang eksis secara independen, melainkan keduanya merupakan fungsi-fungsi atau aspek-aspek gerak kontinu yang terintegrasi. Alam raya saling berjalinan yang tak terpisahkan sehingga harus dipahami secara holistik, bahwa ruang waktu bukanlah dua entitas tetapi satu kesatuan, bahwa alam raya senantiasa dinamis dan terus berkembang tanpa henti untuk setiap saat memperbaharui diri sehingga paham deterministik tidak dapat lagi memahami alam secara keseluruhan.
Gerak trans-substansial itulah yang menjembatani kesadaran dan tubuh kita, mengapa manusia berbeda-beda karena laju gerak trans-substansial atau gerak dalam substansi partikular masing-masing individu berbeda.
Sesuai dengan pandangan eksistensialisme , Sadra menyatakan esensi kita sebagai manusia bermacam-macam. Modus eksistensi kitalah yang menentukan siapa kita (esensi kita) disinilah munculnya pluralitas diantara manusia itu sendiri, yaitu esensi kemanusiaan seseorang tergantung sepenuhnya kepada proses penyingkapan eksistensi yang ia lakukan.

Filsafat Organisme Whitehead

Alfred North Whitehead (1861-1947) terkenal sebagai filsuf yang mempunyai pemikiran orisinal. Dalam banyak hal ia sering mengkritik pemikiran Aristoteles tentang “substansi” tetapi menerima pandangan realisme Aristoteles. Whitehead banyak dipengaruhi oleh pandangan John Locke, Henry Bergson, William James dan John Dewey.
Ia mengemukakan empat gagasan baru yang muncul alam fisika dan biologi yaitu, cahaya sebagai gelombang elektromagnet yang bergerak tanpa medium (bertentangan dengan teori ether dan korpuskuler Newton), penemuan partikel sub atom yang menggugurkan pandangan atomisme (atom sebagai satuan materi terkecil), gagasan konservasi energi yang lalu menggeser posisi materi sebagai konsep sentral fisika dan gagasan evolusi.
Pandangan organisme dalam kosmologi Whitehead didasarkan pada beberapa konsep dasar yaitu : (1) satuan-satuan aktual, (2) proses organis, (3) prinsip relativitas, (4) kreativitas, (5) pansubjektivisme.
Segala sesuatu merupakan satuan-satuan aktual atau derivasi satuan-satuan aktual, dan satuan aktual adalah satu-satunya alasan, sebab, penjelasan sehingga setiap mencari sebuah penjelasan adalah mencari satu atau lebih satuan aktual. Satuan aktual dapat manusia, binatang, sel, partikel bahkan Tuhan.
Proses organis menurut Whitehead adalah kegiatan yang saling berkaitan yang bekerja secara organis. Alam semesta dipandang bergerak secara organis yang dikarakterisasi dengan adanya saling keterkaitan antara unsur-unsur pembentuknya. Sebagai ganti kata mesin dalam materialisme ilmiah Whitehead mengambil simbol dasar organisme, bahwa seluruh realitas bersifat dinamis, selalu berubah dan mengandung unsur-unsur baru, seluruh realitas berproses dan unsur-unsurnya saling terkait.
Prinsip Relativitas, setiap satuan aktual hadir dalam setiap satuan aktual yang lain. Sedangkan Kreativitas adalah prinsip kebaruan, yaitu suatu daya dinamis alam semesta yang memungkinkan terjadinya proses perubahan terus menerus yang memunculkan satuan-satuan aktual baru.
Prinsip yang terakhir dari Whitehead adalah Pansubjektivisme. Prinsip ini menjembatani antara manusia dan alam semesta. Pansubjektivisme berlaku bagi semua satuan aktual, mulai dari Tuhan, Manusia, binatang, tumbuhan, mineral dll. Bahwa segenap pengada di alam raya ini harus dipahami dan diperlakukan sebagai subjek. Disini jelas bertentangan dengan subjektivisme Cartesian-Newtonian yang mendikotomi manusia sebagai satu-satunya subjek dan alam semesta sebagai objek. Prinsip pansubjektivisme pada giliranya menempatkan manusia sebagai bagian dari alam semesta.

Sumbangan Sadra dan Whitehead dalam Paradigma Holistik
Sadra dan Whitehead merupakan dua filsuf yang memiliki kemiripan karakter, yaitu kemampuan menggabungkan kecakapan refleksi metafisika spekulatif yang mendalam dengan kecakapan analisis yang tajam dalam menjelaskan pemikiran-pemikiran mereka. Pemikiran mereka cenderung berkarakter sama yaitu realis, kosmis, dinamis dan holistik. Jika ontologi Sadra bercorak eksistensial-kosmik maka kosmologi Whitehead bercorak organis-eksistensialis (nonmekanistik)
Sadra dan Whitehead sama-sama melihat alam pada esensinya adalah gerak. Gagasan-gagasan mereka yang holistik menentang pandangan antroposentrisme, dan juga pada saat yang sama menolak monisme dalam pelbagai variannya. Mereka sama-sama menekankan ketunggalan relasi-esensial alam semesta, dan pada saat yang sama juga mengapresiasi individualitas, pluralitas dan keragaman. Pemikiran mereka juga akrab dengan pengalaman atau bahasa mistisisme. Bagi mereka kosmos raya memiliki nilai instrinsik, memperona dan hidup.
Semoga kedua pemikiran di atas yaitu ontologi Sadra dan kosmologi Whitehead saling memperkaya dan memperkokoh sistem filsafat yang akan dibangun sebagai alternatif terhadap paradigma Cartesian-Newtonian.

No comments: